Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) menjajaki kemungkinan penggunaan mata uang tunggal di Asia Tenggara.
Mata uang tunggal diharapkan akan mengarah pada integrasi ekonomi yang lebih besar di antara negara-negara anggota ASEAN. Sehingga memungkinkan pergerakan barang, jasa, dan modal yang lebih mudah di wilayah ini.
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (7/9/2023) pagi, mayoritas publik yang mengikuti polling memandang pemakaian mata uang tunggal di Asia Tenggara sebagai keuntungan.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari lima pendengar yang berpartisipasi, empat di antaranya (80 persen) menyatakan hal ini sebagai keuntungan. Hanya satu pendengar saja (20 persen) yang menyebutnya sebagai kerugian.
Data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 58 voters (74 persen) menyebutnya sebagai keuntungan. Sedangkan 20 voters (26 persen) menyatakan sebagai kerugian.
Menyikapi hal tersebut Bhima Yudhistira Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) menjelaskan, wacana penggunaan mata uang tunggal sudah muncul sejak 1997 silam. Atau setelah krisis moneter di Asia Tenggara.
Pada saat itu, cerita Bhima, banyak negara di Asia Tenggara sudah mulai mewacanakan untuk membuat mata uang bersama. Bahkan Jepang juga terlibat dengan membantu melakukan riset.
“Setelah 20 tahun lebih berlalu, mimpi untuk punya mata uang bersama itu sulit terjadi. Sebab banyak perbedaan. Inflasinya beda, pendapatan bruto domestik per kapitanya juga berbeda,” kata Bhima saat mengudara di Radio Suara Surabaya pada Kamis pagi.
Dalam masalah pendapatan per kapita, misalnya. Terjadi gap yang terlampau jauh antara Timor Leste dengan Singapura. “Bahkan dengan Indonesia pun gapnya lebar dalam berbagai indikator ekonomi,” terang Bima.
Kemudian dicari jalan bagaimana integrasi moneter ini bisa berjalan tanpa bicara mata uang bersama di kawasan ASEAN. Maka jalan keluarnya, menurut Bhima, adalah local currency settlement (LCS).
“Misalnya dari Indonesia ke Thailand, bisa menggunakan mata uang lokal. Karena selama ini yang terjadi eksportir, misalnya, mau kirim ke Thailand harus konversi dulu ke Dolar AS. Baru importir dari Thailand mengonversi menjadi mata uang Baht. Itu sangat tidak efisien,” jabarnya.
Dengan mendorong local currency settlement, paling tidak mendorong pemanfaatan mata sang sehingga bisa menandingi dominasi Dolar.
Tapi penerapannya juga tidak mudah. Sebab kapal kargo biasanya menerima pembayaran dengan Dolar AS. Tantangan lainnya adalah sisi perbankan. Apakah mata uang Rupiah tersedia di bank-bank di Asia Tenggara, dan sebaliknya.
“Saya pikir penting ya untuk terus melakukan dedolarisasi, untuk terus mengurangi ketergantungan terhadap Dolar. Karena sekarang ini, sumber dari ketidakpastian global adalah Amerika Serikat, salah satunya,” ujarnya.
Dulu, mata uang yang paling aman sejagat raya ini adalah Dolar AS. Negara lain bisa kena krisis, tapi Dolar AS masih bisa dipercaya.
“Nah sekarang Amerika Serikat ini susah juga. Karena masalah di dalam negerinya banyak sekali. Ada ketidakpastian politik. Apalagi mendekati pemilu di Amerika Serikat,” terangnya.
Ditambah lagi kebijakan moneter di AS terlalu agresif. Suku bunganya pun naik terlalu tinggi. Tentunya ini menjadi sumber ketidakpastian dan resiko global.
Inilah yang membuat dedolarisasi harus dipercepat. Paling tidak dari 87 persen menjadi 70 persen. Ini bisa membuat stabilitas dan kepastian kurs bagi negara ASEAN. “Dengan perdagangan yang jauh lebih efektif dengan meninggalkan Dolar AS, maka tidak ada biaya transaksi berlebih,” tuturnya.
Dalam hal LCS, menurut Bhima, yang paling mungkin adalah Indonesia dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam untuk dikawasan ASEAN, juga Indonesia dengan China.
Lantas, bagaimana pengaruh LCS ke mata uang masing-masing negara? Menurutnya, LCS tidak akan dalam waktu singkat langsung berpengaruh ke penguatan nilai tukar Rupiah. Katanya LCS hanya salah satu faktor kecil untuk memperkuat Rupiah.
“Tapi diharapkan dengan dominasi mata uang lokal semakin besar, ujungnya bisa membuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar jadi lebih stabil,” jabarnya.
Dedolarisasi ini, menurut Bhima, bisa menjadi bargain bagi pemerintah Indonesia untuk meminta AS dan negara barat untuk berinvestasi ke Indonesia. Ini bisa digunakan sebagai daya tawar untuk memperkuat posisi Indonesia menggunakan tema dedolarisasi.
“Kemarin saja berani melawan Eropa soal nikel yang dilarang ekspor, kenapa dedolarisasi tidak berani?” tutur Bhima. (saf/faz)