Jumat, 22 November 2024

Pakar Desak Pemerintah Intervensi Harga Demi Kedaulatan Pangan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Letkol Inf Muhammad Syafii Nasution Dandim 0105 Aceh Barat bersama Mahdi Pj Bupati meninjau lokasi pemanfaatan lahan tidur untuk kedaulatan pangan di Desa Ranto Panyang Timur, Kecamatan Meureubo, Selasa (21/3/2023). Foto: Antara

Muhammad Dian Revindo pakar dari Lembaga Kajian Politik dan Pemerintahan Nagara Institute meminta pemerintah lebih serius mengatur harga komoditas sebagai salah satu upaya umembangun kedaulatan pangan.

Hal itu mengemuka dalam Seminar Hasil Riset bertajuk “Mendorong Kolaborasi Arah Kebijakan Pangan untuk Indonesia Emas”, di Jakarta, Kamis (15/6/2023).

“Pemerintah dinilai kurang serius melakukan intervensi pada harga komoditas. Sehingga, melemahkan kebijakan kedaulatan pangan nasional. Riset Nagara Institute melihat intervensi pemerintah terkait kebijakan ketahanan pangan selama ini masih menitikberatkan pada subsidi terhadap input produksi seperti pupuk dan alat produksi,” kata Revindo dilansir Antara, Kamis (15/6/2023).

Dia melanjutkan, produksi komoditas pangan seharusnya bukan masalah, karena pangan di Indonesia diproduksi jutaan petani. Begitu juga konsumen, karena jumlah penduduk Indonesia yang banyak.

Namun, penelitian Nagara Institute menemukan masalah utama ada pada harmoni permintaan dan penawaran pangan.

Menurut Revindo, harga yang paling efektif seharusnya harga dari pembeli. Sedangkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sekarang diterapkan dia bilang tidak masuk akal.

“HET sebagai salah satu acuan utama kebijakan menjadi tidak berdampak signifikan karena pemerintah tidak memiliki instrumen stabilisasi harga yang memadai,” ungkapnya.

Dia menyebut contoh harga beras yang tidak sama karena konsumen lebih banyak membeli beras berkualitas dengan harga tinggi di toko modern. Sementara beras di pasar induk masih berkualitas rata-rata.

“Ketidakpastian harga menyebabkan petani terpaksa untuk mengandalkan pihak ketiga untuk mengelola hasil panen,” imbuhnya.

Harga yang tidak menentu, sambung Revindo, menyebabkan tren pembayaran dari tengkulak lebih banyak tunai untuk bulir padi tebasan, bukan bulir padi bersih.

Kenyataan tersebut kemudian menjadi penyebab terhambatnya petani untuk menjual gabah bersih, karena kebutuhan uang dari pembeli atau tengkulak yang berujung pada memburuknya harga di tingkat petani.

Di forum yang sama, Arief Prasetyo Adi Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan pembangunan ketahanan pangan yang bersifat multisektor dari aspek awal hingga akhir harus berbasis semangat kemandirian dan kedaulatan pangan.

Setiap daerah memiliki potensi dan sumber daya pangan masing-masing yang harus dioptimalkan dan menjadi komoditas andalan.

“Dengan spesifikasi komoditas pangan tersebut, didukung oleh pembangunan ekosistem terintegrasi hulu hilir, petani peternak dan nelayan akan lebih bergairah untuk berproduksi karena ada jaminan pasar dan stabilitas harga. Kalau merugi siapa yang mau berproduksi?” kata Arief. (ant/bnt/rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs