Harga saham GoTo terus turun sejak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 11 April 2022 lalu. Pada perdagangan Selasa (17/5/2022) harga saham GoTo ditutup di angka Rp200 per saham, lebih rendah dari harga IPO yang sebesar Rp338 per saham.
Menanggapi hal tersebut, I Gede Nyoman Yetna Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan sebenarnya kondisi seperti ini adalah hal yang biasa. Karena bisnis model New Economy, akan mengalokasikan suntikan dana yang masuk untuk kepentingan pengembangan bisnis. Dalam membangun ekosistem di bisnis seperti itu, butuh pendanaan.
“Kan orang bilang burning money, karena memang untuk membentuknya (ekosistem) itu membutuhkan cost dan memang upaya mereka itu lebih difokuskan dalam membangun ekosistem. Setelah masuk kedalam ekosistem, mereka baru mengcreate bisnisnya,” jelas Nyoman pada suarasurabaya.net, Rabu (25/5/2022)
Nyoman mencontohkan beberapa bursa perusahaan teknologi di level dunia yang juga mengalami kasus serupa.
“Beberapa New Economy pun karakteristiknya sama. Bukan dalam jangka waktu pendek menghasilkan deviden. Itu dari awal sudah disampaikan,” paparnya.
Perusahaan seperti itu, tujuannya adalah growth opportunity, namun tentunya jenis perusahaan seperti itu belum bisa memberikan dividen.
“Jadi salah satu karakteristik new economy adalah growth nya nanti. Bukan di bottom line. Jadi salah satu karakteristik yang perlu diketahui. Bottom line nya memang tidak ijo royo-royo,” ujarnya kembali.
Sebagai upaya untuk melindungi investor, BEI melekatkan notasi ‘N’ pada emiten decacorn GoTo.
“Kita beri kode N. Artinya New Economy. Itu biar publik tahu. Jangan memikirkan deviden dalan waktu dekat. Perusahaan New Economy sifatnya long term investment,” kata dia.
Dengan demikian, diharapkan investor akan lebih aware saat mengambil keputusan investasi.
Ke depannya, BEI juga berencana membuatkan satu papan khusus untuk emiten berbasis New Economy seperti GoTo. Menambah 3 papan yang sudah ada sebelumnya, papan utama, papan pengembangan dan papan akselerasi.
“Jadi tahun 2022 ini kami akan membentuk papan New Economy. Kami sudah presentasi ke OJK.
Semoga sebelum tutup tahun 2022 sudah terealisasi,” tambahnya.
Nyoman menyampaikan, papan New Economy ini ditujukan untuk mencatatkan saham-saham dari innovative company yang memiliki pertumbuhan tinggi dan memiliki kemanfaatan sosial yang luas.
Menurutnya, bursa juga dapat mencatatkan saham-saham perusahaan yang memiliki Saham dengan Hak Suara Multipel (SHSM ) dalam struktur permodalannya, di papan New Economy ini.
Kembali lagi, tujuan dari pembuatan papan New Economy ini untuk memginformasikan pada publik bahwa bisnis model seperti ini tidak bisa memberikan dividen dalam waktu dekat.
“Kenapa kita buatkan papan? Supaya investor tahu kalau mau dividen jangan masuk ke papan New Economy. Karena mereka fokus pada pengembangan bisnis, bukan berarti tidak ada laba, namun bisnis model seperti ini mengakibatkan mereka harus mengembangkan bisnisnya,” terang Nyoman.
Nyoman menekankan, hal yang terpenting dari perusahaan New Economy ini adalah tetap tumbuh dari sisi revenue growth, atau dengan syarat Compounded Annual Growth Rate (CAGR) 20 persen selama 3 tahun.
Perusahaan yang tercatat di papan New Economy, juga harus mengadopsi teknologi sebagai dasar bisnis dengan pemanfaatan yang luas. Papan New Economy juga secara struktur akan sejajar dengan papan utama.
“Yang penting, perusahaan tetap tumbuh dari revenue growth-nya. Dengan itu, meskipun tidak membukukan laba, mereka melakukan investasi baik dari akuisisi secara customer maupun akuisisi secara bisnis ekosisistemnya,” tegas dia.
Hal ini bertujuan agar perusahaan tercatat di Papan New Economy menjadi kompetitif di pasar modal dunia dan menarik bagi investor global. (tha/iss)