Adhitya Wardhono pengamat ekonomi Universitas Jember (Unej) mengatakan, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat berdampak pada laju inflasi yang harus diwaspadai semua pihak.
“Besar kemungkinan pada waktu dekat ini akan terjadi penurunan pada konsumsi dan kenaikan inflasi, tetapi dalam taraf yang moderat,” ujarnya seperti dikutip Antara, Minggu (4/9/2022).
Dia memperkiraan inflasi bisa di kisaran 6-8 persen yang disebabkan ekspektasi inflasi sudah terbentuk dahulu dan adanya penyesuaian perilaku.
“Itu tetap menjadi risiko, bila ternyata lonjakannya sangat besar, apalagi melebihi pertumbuhan ekonomi yang kian memulih,” ucap Pakar Moneter Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unej tersebut.
Dia menambahkan, kenaikan harga BBM di tengah naiknya suku bunga Bank Indonesia (BI) 3,75 persen akan mempengaruhi kinerja ekonomi dan berimbas lebih besar dari pengetatan moneter yang dilakukan BI.
“Bukan tidak mungkin akibat naiknya harga BBM, kenaikan biaya produksi tarif angkutan dan harga sandang pangan pun juga ikut naik begitu juga akan memicu inflasi,” jelas Adhitya.
Tingkat inflasi tahunan pada Agustus 2022 yang mencapai 4,69 persen, lanjutnya, memungkinkan pembuat kebijakan moneter akan meninjau kembali prospek inflasi dalam menanggapi kebijakan harga BBM.
“Harga bahan bakar merupakan masalah yang sensitif secara politik di Indonesia, dan perubahan tersebut akan memiliki implikasi besar bagi rumah tangga dan usaha kecil, karena bahan bakar bersubsidi menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan negara,” imbuhnya.
Adhitya menjelaskan, kenaikan BBM tidak bisa dihindari dan sinyal naiknya BBM sudah terdengar. Pemerintah pun membeberkan alasan-alasan dasar yang membuat harga BBM naik.
Tekanan pada anggaran negara mau tidak mau memangkas subsidi BBM dan Pemerintah berani tidak populis. Walau demikian, dampak terhadap ekonomi domestik dan rakyat signifikan terjadi, terutama dalam jangka pendek sebelum mereka mampu menuju keseimbangan ekonomi barunya.(ant/des/rid)