Komaidi Notonegoro Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengingatkan pemerintah untuk menjaga konsistensi dalam memperjuangkan hilirasi industri pertambangan Tanah Air pasca-kalah dari gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Ketika kita sudah mengambil sikap, kemudian digertak, digencet, kita mengkerut, kerannya dibuka sedikit-sedikit. Tidak boleh seperti itu, risikonya kita ambil. Biasanya ketika ditawar, ada jalan keluar dan solusi yang moderat. Terlihat kita tidak konsisten,” ujar pengamat energi dan migas ini dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (29/11/2022).
Risiko yang mungkin terjadi jika Indonesia tetap kukuh menerapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel, menurut Komaidi bukan sekadar denda, tapi juga berdampak pada hubungan bisnis dan ekonomi dengan Uni Eropa.
“Mereka tidak punya nikel, sementara produk mereka sebagian besar membutuhkan nikel. Selama ini mereka beli mentah, mengolah di sana. Kalau kita olah menjadi bahan setengah jadi, smelter mereka menganggur. Apalagi kalau kendaraan listrik semakin berkembang,” kata Komaidi.
Dia menjelaskan, pada satu sisi, memang bijih nikel adalah milik Indonesia. Regulasi internasional juga menyebutkan setiap kekayaan sumber daya alam melekat pada negara yang memiliki, asalkan tidak melanggar ketentuan ekspor impor kontrak berjalan.
Namun, dalam sistem ekonomi, Indonesia seperti negara lainnya, masih membutuhkan barang dari negara lain. Ketergantungan antarnegara membuat dunia menjadi satu kesatuan. Misalnya barang yang diproduksi di China, bahan baku dan teknologinya dari Eropa, dan terkenalnya di Amerika.
“Ibarat perang, pemerintah harus menghitung kekuatan lawan. Uni Eropa memang negara tujuan rantai pasok bijih nikel, tapi teknologi kita di semua sektor masih dari barat. Undang-Undang Minerba telah mengamanatkan hilirisasi mulai tahun 2009, tapi smelter Indonesia belum siap. Baru tahun ini mulai siap,” ujarnya.
Peluang Indonesia menikmati nilai tambah dari pengolahan bijih nikel, kata Komaidi, masih ada. Selain karena pemerintah telah memutuskan untuk mengajukan banding atas putusan WTO, smelternya sudah ada, dan teknologi secara bertahap sudah dikuasai.
“Masih ada probabilitas. Pemerintah kita harus lebih banyak persiapan. Strateginya harus ditambah. Ibarat main bola, kita away, bertanding di kandang mereka karena WTO sebagian besar negara Uni Eropa, jadi, ya, untuk kepentingan Eropa. Karena itu perlu kita turunkan diplomat handal kita. Cari celah untuk balancing. Kerja sama dengan ahli hukum bisnis international, dan lawyer yang punya reputasi besar di internasional,” kata dia.
Dia juga meminta pemerintah dan rakyat Indonesia bersiap menghadapi konsekuensi kalah di sidang banding.
“Sanksi sih biasanya sanksi perdagangan. Kuncinya, kalau sudah bisa, ambil sikap berdikari dan terus maju. Kalau barang Eropa tidak masuk, ya, kita perlu siap. Kita pakai barang kita sendiri,” tuturnya.
Terkait kenaikan pajak ekspor nikel, menurutnya, itu merupakan kewenangan negara dan bagian dari kebijakan terintegrasi. Kalau pajak ekspor dinaikkan, harapannya ekspor tidak banyak dilakukan, jadi diolah di dalam negeri dulu.
“Kalau tidak boleh ekspor, hilirisasi harus siap. Harganya jangan jatuh terlalu dalam supaya ekosistem pengusaha industri ini bagus. Pengusaha dan pemerintah bersepakat meskipun margin berkurang. Diharapkan tenaga kerja masuk dan investasi bagus,” katanya.(iss/rst)