Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kebijakan insentif kedelai berupa pembayaran selisih antara harga pasar dan harga yang diterima perajin, berpotensi tidak efektif meredam kenaikan harga karena bersifat jangka pendek dan tidak mengatasi persoalan utama, yaitu produktivitas.
“Tujuan subsidi disebutkan sebagai intervensi jangka pendek untuk melindungi produsen tahu dan tempe ketika harga pasokan kedelai internasional naik. Namun implementasinya mungkin mengalami kesulitan sehingga bisa jadi tidak akan efektif,” ujar Aditya Alta peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam keterangan resmi pada, Jumat (18/3/2022) dikutip Antara.
Menurut Aditya, faktor pertama yang membuat pemberian insentif tidak efektif yakni target penerima, akurasi data, dan mekanisme pemberian. Rantai pasok kedelai sendiri melibatkan banyak pihak mulai dari petani, importir, perajin tahu dan tempe, pedagang, hingga konsumen akhir.
Jika subsidi ditargetkan untuk perajin tahu dan tempe, Lanjut Aditya, akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan terhadap para pelaku industri makanan dan minuman lain yang juga didominasi UMKM. Karakteristik industri tahu-tempe yang banyak menaungi UMKM, juga dapat menyulitkan mekanisme pemberian subsidi.
Selain itu, tidak ada jaminan produsen tahu-tempe penerima insentif atau pedagang eceran akan menjual dengan harga terjangkau.
“Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi targeting adalah melalui mekanisme insentif perpajakan untuk UMKM secara umum, seperti yang banyak dilakukan pada awal pandemi lalu. Namun pertanyaannya adalah apakah pemerintah masih mau merelakan berkurangnya penerimaan perpajakan?” kata Aditya.
Permasalahan yang dihadapi produsen pada dasarnya berkaitan dengan segmentasi pasar tahu dan tempe yang cenderung dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dampaknya, kenaikan harga bahan baku tidak serta-merta dapat dibebankan ke konsumen akhir.
Aditya berpendapat, hal ini berarti alternatif kebijakan lain dapat diarahkan untuk meningkatkan daya beli konsumen berpenghasilan rendah, misalnya melalui Kartu Sembako yang sudah sempat dilakukan pemerintah.
Dalam jangka panjang, produsen tahu tempe yang kebanyakan adalah UMKM juga dapat berusaha meningkatkan nilai tambah produknya, misalnya dengan mengolahnya menjadi makanan ringan tempe dalam kemasan, sehingga dapat dipasarkan di pasar ritel modern.
Aditya menambahkan, kenaikan harga kedelai impor kali ini juga memberikan peluang bagi petani untuk menanam kedelai dan mendapatkan margin yang layak. Dalam situasi normal, petani cenderung enggan melirik kedelai karena tidak mampu bersaing dengan harga kedelai impor. Harapannya, melalui mekanisme pasar, meningkatnya suplai kedelai dari dalam negeri ini akan mampu menekan harga.
“Namun kedelai lokal hanya menyumbang 10 persen suplai kedelai Indonesia, sehingga harapan untuk melakukan swasembada masih sangat jauh. Rendahnya produktivitas kedelai dalam negeri merupakan sesuatu yang belum mampu diselesaikan selain keterbatasan lahan dan kecocokan cuaca yang mendukung tumbuh suburnya kedelai,” pungkasnya. (ant/bil/ipg)