Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengatakan, Pemerintah terus mendorong substitusi bahan bakar fosil dengan energi hijau seperti dari kelapa sawit.
Menurutnya, upaya substitusi bahan bakar fosil dengan biodiesel sawit, energi hijau lainnya, dan petrokimia dengan oleokimia berbasis sawit merupakan strategi yang akan membuat industri sawit mendapat keuntungan lebih di tengah krisis energi.
“Hingga tahun 2022, Indonesia masih menerapkan B30. Saat ini, Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel lebih rendah daripada HIP Solar,” ucap Airlangga, Kamis (3/11/2022), di Jakarta.
Komaidi Notonegoro Pengamat Energi menilai, Pemerintah masih melakukan uji jalan (road test) penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel dengan campuran 40 persen atau disebut B40 pada kendaraan bermesin diesel.
Dia bilang, produk biodiesel terbukti diminati masyarakat. Sehingga, perlu terus dilakukan inovasi baru seperti B40.
Pemberlakuan B40 merupakan salah satu upaya strategis negara untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), sekaligus mengimplementasikan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain itu Pertamina sedang mengembangkan Biogasoline.
Komaidi mengingatkan, kalau nantinya produk itu sudah banyak digunakan masyarakat, maka Pemerintah wajib menjaga ketersediaannya.
“Perlu diperhatikan secara keberlanjutan pasokan. Kelapa sawit kan trade off dengan kebutuhan lain misalnya minyak goreng, dan produk turunan lainnya,” katanya.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengambil contoh, saat ini Pertamina tengah mengkaji produk Biogasoline. Tapi, Pertamina meminta ada kepastian keberlanjutan suplai minyak sawitnya (Crude Palm Oil/CPO).
Lebih lanjut, Komaidi meminta, Pemerintah mencari alternatif energi hijau lain, bukan cuma kelapa sawit saja.
“Pemerintahan juga perlu menyeimbangkan dengan potensi lain. Sehingga, fokusnya jangan hanya berat ke kelapa sawit, karena kebutuhan kelapa sawit bukan cuma untuk biodiesel, tetapi ada kebutuhan lain. Harus berpikir untuk mengembangkan EBT yang lain, misalnya panas bumi,” tandas Komaidi.
Sementara itu, Piter Abdullah Direktur Eksekutif Segara Institut mengungkapkan, industri sawit berkelanjutan bertumpu pada kesungguhan dan keseriusan menjaga lingkungan supaya tetap mampu menopang industri sawit.
“Pengertian dari berkelanjutan dalam industri kelapa sawit adalah kesungguhan menjaga lingkungan agar tetap kondusif bagi keberlangsungan perkebunan sawit,” ucapnya.
Piter melanjutkan, Pemerintah juga harus memanfaatkan peluang ekonomi kawasan untuk mendorong tercapainya industri sawit berkelanjutan.
“Kondisi pasar dan harga CPO yang saat ini cukup tinggi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, peluang juga harus dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan petani sawit kecil. Hal itu bisa dilakukan dengan menjaga harga tandan buah segar (TBS) sawit produksi petani.
“Keberpihakan kepada petani kecil ditunjukkan dengan upaya menjaga pasar agar petani mendapatkan harga jual yang menguntungkan,” tambahnya.
Pemerintah juga diminta untuk bisa membantu petani kecil melakukan peremajaan tanaman sawit dengan dana yang sudah terhimpun.
“Pemerintah hendaknya membantu petani kecil melakukan peremajaan atas kebun-kebun mereka memanfaatkan dana yang dihimpun memang untuk itu,” pungkasnya.(rid/ipg)