Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menegaskan Pemerintah punya berbagai program untuk mendukung usaha kecil di sektor pangan.
Salah satu program yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan, kata Menko Perekonomian adalah kredit usaha rakyat (KUR).
“Kredit usaha rakyat itu sangat berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Program itu mendapatkan apresiasi dari organisasi pangan dan pertanian dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) dan berbagai lembaga dunia,” ujar Airlangga, Kamis (6/10/2022), di Jakarta.
Walau bermanfaat untuk pengembangan dan kebangkitan usaha mikro kecil menengah (UMKM), Dwi Andreas Santosa Pakar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebut selama ini KUR belum menyentuh petani kecil.
“Menurut saya KUR ini belum tepat sasaran. Memang bermanfaat, misalnya untuk UMKM,” ucapnya.
Dia menyebut, ada kajian dari Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) yang menemukan besaran serapan KUR oleh petani kecil.
Ekonom senior CORE Indonesia menilai, KUR lebih banyak diserap pelaku usaha kelas menengah dibanding petani kecil.
“Dari hasil kajian tersebut, petani kecil yang menyerap KUR kurang dari 1 persen. Berarti KUR diserap siapa? Ya, middle man,” sebutnya.
Hal itu karena pelaksanaan KUR menganut aturan dan kaidah perbankan, seperti adanya agunan dan besaran cicilan yang dinilai menyulitkan petani kecil.
“Aturan itu yang tidak memungkinkan petani kecil mengakses program tersebut,” imbuhnya.
Sebagai alternatif, Anderas menyarankan Pemerintah membuat mekanisme baru yang lebih ramah petani kecil.
“Harus dicari satu mekanisme penyaluran KUR, sehingga petani kecil bisa menyerap KUR tersebut,” tegasnya.
Di sisi lain, Andreas mengakui petani kecil sangat membutuhkan KUR. Makanya, Pemerintah perlu menerbitkan peraturan perbankan baru untuk memudahkan petani kecil dalam mengakses KUR.
“Pemerintah harus menerbitkan peraturan perbankan yang baru supaya petani kecil yang tidak memiliki agunan, yang belum melek teknologi, yang tidak tahu apa pun bisa menyerap KUR tersebut,” tambahnya.
Selain itu, proses yang panjang dalam pengurusan KUR juga menjadi persoalan tersendiri. Menurut Andreas, petani tidak bisa menunggu dalam jangka waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan dana untuk bertani.
“Sehingga perlu mekanisme, sudah barang tentu perbankan tidak bisa disalahkan, kalau tidak ikut aturan kena juga mereka. Sehingga aturannya yang diubah,” katanya.
Walau Pemerintah membuat aturan dan mekanisme baru penyaluran KUR yang ramah petani kecil, Andreas bilang tidak menyelesaikan masalah. Karena, ada tantangan lain yang muncul dari keterbatasan petani kecil.
“Kalau aturan itu ada, belum tentu juga petani kecil bisa mengakses KUR. Karena keterbatasan mereka, harus isi formulir, persyaratan administratif yang harus mereka penuhi. Apalagi dengan tingkat pendidikan petani kecil kita,” pungkasnya.
Sementara itu, Pieter Abdullah Direktur Eksekutif Segara Institute mengatakan, selama ini penyaluran KUR pertanian belum bisa dinikmati semua petani, terutama petani kecil.
Padahal, untuk menjaga ketahanan pangan, kinerja petani kecil juga memiliki dampak.
“Yang tidak mendapatkan ya petani kecil yang sulit mendapatkan akses pembiayaan,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (6/10/2022).
Pemerintah, lanjut Pieter, perlu menambah jumlah kredit pertanian, bersaing dengan keberadaan kredit komersial.
“Kalau tadinya dengan kredit pangan (produk komersial BUMN), Rp1 triliun, sekarang dengan KUR bisa Rp10 triliun baru bisa katakan KUR berkontribusi besar dalam mendorong kredit pangan yang pada ujungnya meningkatkan produktivitas pangan,” tutupnya.(rid/ipg)