Jumat, 22 November 2024

Pakar Ekonomi: Serapan APBN Belum Optimal, Perhatikan Pola Pembiayaannya

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Joko Widodo Presiden, menyampaikan Pidato Pengantar Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2023, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2022). Foto: Facebook Presiden Joko Widodo

Tahun 2022 tersisa dua bulan lagi, tapi masih ada sekitar Rp1.200 triliun anggaran belanja negara yang masih belum terealisasi. Beragam argumen muncul dari masyarakat terhadap kondisi ini. Mulai dari mempertanyakan kinerja pemerintah sampai menganggap uang tersebut adalah surplus pendapatan negara ini.

Bambang Budiarto, pakar ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya) mengingatkan, perencanaan anggaran suatu intitusi atau organisasi pasti memiliki target dan capaian. Begitu juga dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pagu belanja negara sesuai Perpres 104/2021 yang kemudian diperbaiki dengan Perpres 98/2022 sebesar Rp3.106,4 triliun. Sampai 30 September 2022, pemerintah baru merealisasikan belanja sebesar Rp1.913,9 triliun atau baru terserap 61,6 persen.

“Angka serapan 61 persen sebenarnya sudah di atas target. Kalau misalnya di institusi ada monitoring evaluasi yang serapannya sesuai target, sudah aman, meskipun belum optimal,” kata dia dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Senin (31/10/2022).

Namun, untuk APBN sedikit berbeda. Karena yang dikelola adalah uang rakyat, perlu dilihat fungsinya, alokasi, distribusi, perencanaan, regulasi, stabilisasi, juga otoritas. Penganggarannya juga berjenjang, penggunaannya berjenjang. Tidak serta merta Rp3.000 triliun dipakai.

Selain hampir di setiap daerah serapannya belum optimal, juga perlu diperhatikan pola pembiyaan atau pola pengeluarannya. Bisa jadi ada situasi proyek dikerjakan tapi bayarnya mundur. Setelah selesai baru dibayarkan.

“Tidak ada angka pasti untuk menilai kinerja atau penyerapan pemerintah. Selama belanjanya berkualitas sudah aman,” ujar dia.

Anggaran belanja disebut berkualitas apabila bisa memunculkan tiga indikator. Pertama, bisa melakukan penyerapan tenaga kerja. Kedua, bisa menciptakan pendapatan masyarakat, Ketiga, bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Terkait pemahaman yang muncul di masyarakat, jika dana tidak terserap berarti surplus dan kabar baik, menurut Bambang kurang tepat.

“APBN ini sudah ada pos-posnya. Setiap tahun disusun dengan perencanaan dananya diperoleh dari mana. Sehingga sisanya tidak bisa disebut cadangan. Misal pembangunan gedung, tidak bisa pakai anggaran tahun lalu,” kata dia.

Selain itu ada istilah keseimbangan dalam perekonomian. Supaya ekonomi bergerak, bisa jalan, perlu keseimbangan sepetti naik sepeda roda dua,” tambahnya.

Jika di kemudian hari ada perubahan terhadap APBN, kata Bambang, hal itu wajar terjadi. Asal nanti penyelesaiannya harus terbuka diketahui semua pihak, misal DPRD, karena ekonomi Indonesia naik turun dan tahun 2023 penuh ketidakpastian.(iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs