Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian yang mengatakan, tantangan ekonomi Indonesia ke depan terus berdatangan.
Indonesia, kata Airlangga, sudah belajar menghadapi ketidaktahuan dan ketidakpastian ekonomi, terutama waktu pandemi Covid-19.
Dengan begitu, dia optimistis Indonesia mampu menghadapi dengan segala kemampuan dan resiliensinya melalui koordinasi di sektor fiskal, moneter, mau pun riil.
“Tentu masa-masa pandemi menjadi pembelajaran yang sangat berharga untuk menangani ketidakpastian risiko ke depan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (22/12/2022).
Menanggapi itu, Yusuf Wibisono Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) menyebut ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan Pemerintah untuk memitigasi risiko ekonomi di tahun 2023.
Salah satu yang perlu dilakukan dengan serius adalah menjaga daya beli masyarakat.
“Menjadi krusial bagi Pemerintah untuk berkonsentrasi menjaga daya beli rakyat dengan penguatan bantuan sosial (bansos), jaring pengaman sosial, serta menjaga ketahanan pangan dan energi. Pemerintah sebaiknya segera fokus pada perekonomian domestik yang besar, beralih dari export-led growth menuju ke domestic demand-led growth,” ujarnya di Jakarta, Jumat (23/12/2022).
Walau perekonomian nasional relatif less connected dengan perekonomian global, Yusuf melihat keterkaitan dan dampak perekonomian global ke perekonomian Indonesia tidak bisa dipandang kecil, terutama melalui jalur ekspor-impor dan jalur aliran modal asing.
“Komponen ekspor-impor dalam perekonomian kita berkontribusi sekitar 20 persen. Resesi global dipastikan akan melemahkan ekspor sebagai salah satu mesin utama pertumbuhan dan menjadi penyelamat di masa pemulihan pascapandemi Covid-19,” jelas Yusuf.
Melemahnya ekspor yang diikuti melemahnya aliran modal asing baik FDI maupun investasi portofolio, lanjut Yusuf, juga akan melemahkan nilai tukar Rupiah, terlebih aliran modal keluar berpotensi meningkat seiring kenaikan bunga acuan di negara-negara maju.
Lebih lanjut, Yusuf menyarankan kebijakan moneter untuk menjaga nilai tukar Rupiah sebaiknya tidak lagi mengandalkan suku bunga. Tapi, beralih dari pendekatan suku bunga tinggi ke pendekatan pengelolaan devisa yang efektif, terutama melalui repatriasi devisa hasil ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) dan menukarnya secara efektif ke Rupiah.
“Pemerintah harus bersikap tegas kepada eksportir yang tidak melakukan repatriasi DHE ke dalam negeri, termasuk dengan melakukan penyesuaian terhadap rezim devisa bebas,” kata Yusuf.
Sebelumnya, sejumlah lembaga internasional memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi indonesia di 2023.
Menurut Airlangga Hartarto Menko Perekonomian, proyeksi pertumbuhan masih berada di kisaran 4,7-5 persen.
Sementara itu, Adhitya Wardhono Pakar Ekonomi dari Universitas Jember mengungkapkan, Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) patut memperkuat kerja sama untuk memitigasi ancaman krisis global.
Dia bilang, pelambatan perekonomian global tidak dapat dipungkiri dan bisa saja menggerus ekonomi Indonesia.
“Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan juga akan melandai. Sehingga, tidak mudah bagi Indonesia untuk bertahan di kondisi ekonomi 2023 yang diperkirakan suram,” terangnya.
Tapi, Adhitya yakin ekonomi Indonesia relatif aman dari resesi. Walau begitu, Indonesia tetap harus waspada.
Apalagi, ketergantungan terhadap ekonomi global masih cukup tinggi. Sehingga, sektor ekspor dan investasi harus terus digenjot dengan berbagai program Pemerintah.
Hal yang positif, penentuan produk domestik bruto (PDB) sebagai dasar perhitungan pertumbuhan ekonomi Indoneisa didominasi sektor konsumsi.
Adhitya menekankan pentingnya sinergitas dan efektivitas kerja sama antara otoritas fiskal dan moneter. Dia bilang, kuncinya ada di koordinasi otoritas fiskal dan moneter terlebih bagi Indonesia semakin berat menjelang tahun politik ini.
“Duet maut otoritas fiskal dan moneter jangan sampai kendor. Ini fase pemulihan ekonomi karena pandemi belum selesai. Ada efek memar yang belum sembuh. Perlu tetap fokus. Karena bisa dipastikan kinerja ekspor akan menurun dengan pelambatan ekonomi global, cadangan devisa pasti tergerus maka perlu dilakukan langkah untuk tetap menjaga stabitias nilai tukar tanpa menahan laju pertumbuhan ekonomi,” paparnya.
Adhitya menegaskan, sepertu waktu awal pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memberi keyakinan dengan kebijakan fiskal melalui APBN yang didesain untuk tetap tahan terhadap gerusan resesi global.
Lalu, Pemerintah harus mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat melalui program sosial seperti bantuan tidak terduga dan subsidi masyarakat. Sedangkan BI juga patut menjaga stabilitas ekonomi melalui stabilitas harga dan nilai tukar.
“Pemerintah harus konsisten pada antipasi resesi global dengan instrumen APBN, dan BI harus mempu menggerakkan kebijakan moneternya. Sehingga stabilitas ekonomi khususnya harga barang akan terjaga,” pungkasnya.(rid)