Non Fungible Token (NFT) menjadi tren yang pamornya kian meroket dalam beberapa waktu belakangan.
Di Indonesia sendiri, NFT mencuat akibat seseorang bernama Ghozali trending di Twitter usai mencuit pencapaiannya yang berhasil menjual lebih dari 230 foto di platform Opensea.
NFT, mengutip dari Antara, Kamis (13/1/2022) merupakan pengembangan dari blockchain yang digadang- gadang menjadi masa depan potensial bagi para pelaku atau pun penikmat karya hasil dari industri kreatif.
Sebenarnya NFT sudah ada sejak tahun 2014, namun keberadaannya semakin dipandang setelah salah satu seniman digital bernama Mike Winklemann atau akrab dikenal dengan nama panggung Beeple menjual karyanya dalam bentuk NFT yang bertajuk “Everyday: The First 5000 Days” dengan harga tertinggi senilai 69,3 juta Dolar AS pada Maret 2021.
Pandu Sastrowardoyo Co-Founder dari Asosiasi Blockchain Indonesia menjelaskan, NFT bisa diibaratkan sebagai sertifikat kepemilikan suatu karya.
“Sederhananya, NFT dapat diartikan sebagai sertifikat kepemilikan dari sebuah aset digital. Sementara aset digital yang dimaksud bisa sangat beragam seperti foto, video, musik, gif, png, dan lainnya,” ujar Pandu.
Sebelum NFT menjadi tren investasi yang menjanjikan, rupanya komunitas seniman telah menggunakannya untuk menjadikannya sebuah identitas hingga sebagai cara mendapatkan carbon credits atau izin untuk bisa mengeluarkan karbon dioksida mengikuti aturan yang telah ditentukan.
Pada era teknologi ini, NFT hadir untuk memberikan sensasi yang sama khususnya pada karya seni digital sehingga kolektor seni digital ikut merasakan yang namanya berburu “barang langka”.
“Kelangkaan dalam digital art ada pada titik di mana artist atau kreator melakukan minting karyanya dalam platform NFT. Di titik itulah kepemilikan tidak bisa diduplikasi karena tercatat di blockchain. Hal ini yang menjadi kekuatan NFT dan membuat karya tersebut memiliki nilai kelangkaan,”ujar Pandu.
Sementara itu CNBC mencontohkan, meskipun aset digital yang dimiliki dapat direproduksi tanpa batas, NFT yang dimiliki unik dan dibuktikan melalui bukti pembelian dalam blockchain dengan mata uang kripto. Contohnya, CNN melaporkan sebuah twit oleh CEO Twitter, Jack Dorsey, dilelang sebagai NFT dan laku sebesar US$2,9 juta.
Siapa pun dapat menangkap layar dan menyimpan twit tersebut sebagai gambar. Namun, hanya Jack Dorsey yang dapat menjualnya sebagai NFT. Cara kerja NFT agar dapat dibeli harus melalui proses yang bernama minting.
Minting adalah proses mengubah file digital menjadi koleksi kripto atau aset digital di blockchain. Proses ini memerlukan marketplace sebagai pihak ketiga atau agen minting. Misalnya, OpenSea, Mintable, atau Theta Drop.
Pemilik karya digital harus membayar biaya platform agar marketplacedapat memroses aset digital ke dalam blockchain sebagai NFT. Biaya tersebut dikenal dengan istilah “gas fee” atau “Gwei”.
NFT tidak memiliki nilai sama, setiap aset unik dan tidak dapat ditukar. Misalnya, terdapat dua video LeBron James di waktu dan tempat yang sama tapi direkam oleh dua orang berbeda. Kedua video tersebut dapat menjadi NFT dengan nilai yang berbeda, tergantung siapa yang merekam dan aspek lain dalam video, seperti sudut pandang atau kualitas.
Keunikan tersebut yang membuat NFT berbeda dengan mata uang kripto.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk membeli NFT, yaitu:
1. Pilih marketplace yang diinginkan
2. Sediakan dompet digital untuk NFT
3. Tentukan mata uang kripto yang akan digunakan sebagai pembayaran. Sebagian besar NFT diperdagangkan menggunakan Ethereum.(dfn/rst)