Muhammad Lutfi Menteri Perdagangan menyatakan pemerintah berkomitmen menjaga momentum pertumbuhan ekspor dan pengendalian inflasi volatile food tahun 2022 melalui stabilisasi harga bahan pokok.
Untuk itu, pihaknya menyiapkan sejumlah langkah strategis supaya pemulihan kinerja perdagangan terus berlanjut.
Menurut Lutfi, momentum pertumbuhan ekspor perlu dijaga. Berdasarkan data, capaian kinerja ekspor Indonesia pada 2021 terdiri atas ekspor migas dan nonmigas memecahkan rekor tertinggi dalam sejarah dengan nilai USD 231,54 miliar.
Angka tersebut bahkan mengalahkan nilai ekspor tertinggi Indonesia yang tercatat USD 203,50 miliar pada tahun 2011.
“Ekspor Indonesia di 2021 menembus angka USD 231,54 miliar. Angka ini merupakan yang tertinggi, melampaui catatan nilai ekspor tertinggi Indonesia selama ini di 2011 yang sebesar USD 203,50 miliar,” ujarnya dalam forum Outlook Perdagangan 2022, secara virtual, Rabu (19/1/2022).
Menteri Perdagangan menambahkan, nilai ekspor 2021 yang menjadi rekor baru didominasi produk-produk manufaktur. Antara lain adalah CPO dan turunannya, besi baja, produk elektronik dan elektronika, serta kendaraan bermotor dan suku cadangnya.
“Empat dari lima produk ekspor utama di 2021 merupakan produk manufaktur,” ungkapnya.
Rinciannya, lima komoditas ekspor nonmigas terbesar Indonesia pada 2021 adalah batu bara dengan nilai USD 32,84 miliar, CPO (USD 32,83 miliar), besi baja (USD 20,95 miliar), produk elektronik dan elektronika (USD 11,80 miliar), serta kendaraan bermotor dan suku cadangnya (USD 8,64 miliar).
Sementara itu, neraca perdagangan kumulatif Indonesia periode Januari-Desember 2021 mencatatkan surplus sebesar USD 35,54 miliar.
Surplus tersebut didapat dari defisit neraca migas USD 13,25 miliar dan surplus neraca nonmigas USD 48,60 miliar. Nilai surplus nonmigas 2021 tersebut turut mencatatkan rekor sebagai surplus nonmigas terbesar sepanjang sejarah.
“Kalau dibandingkan dengan ekspor 2020 yang mencatatkan nilai USD 163,19 miliar, ekspor 2021 tumbuh hingga 41,88 persen. Di sisi lain, impor 2021 tercatat USD 196,20 miliar atau tumbuh 38,59 persen dibanding impor 2020 mencapai USD 141,57 miliar,” paparnya.
Lebih lanjut, Lutfi menyampaikan pada 2021 surplus perdagangan tertinggi Indonesia dengan negara mitra yaitu Amerika Serikat (AS) senilai USD 14,52 miliar, kemudian Filipina (USD 7,33 miliar), dan India (USD 5,62 miliar).
Sementara itu, perdagangan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 2021 mengalami defisit USD 2,45 miliar. Tapi, defisit itu berkurang 68,84 persen dibandingkan tahun 2020 sebanyak USD 7,85 miliar.
Pada kesempatan itu, Mendag juga menyatakan, Kementerian Perdagangan akan terus menjaga momentum pertumbuhan ekspor di tahun 2022.
Sejumlah tantangan yang menjadi perhatian utama Mendag Lutfi adalah kebijakan tapering off, hambatan logistik dunia, krisis energi, serta strategi menghadapi pandemi Covid-19.
“Indonesia memperhatikan kebijakan tapering off Amerika Serikat. Selain itu, diharapkan penyelesaian gangguan logistik global akan lebih baik pada 2022. Pemerintah juga tengah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk mengatasi krisis energi dalam perekonomian global serta terus melakukan upaya pengendalian pandemi Covid-19. Langkah ini perlu dilakukan untuk mendorong kinerja perdagangan dan menjaga momentum pertumbuhan ekspor,” tegasnya.
Terkait perjanjian dagang, Lutfi bilang sekarang sedang mengupayakan dan menuju tahap penyelesaian di antaranya dengan Uni Emirat Arab yang targetnya selesai Maret 2022.
Selanjutnya, Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Bangladesh yang juga dalam tahap penyelesaian di tahun 2022.
“Dengan Tunisia akan dipercepat. Sedangkan dengan Turki dan Iran akan segera dimulai kembali putarannya. Untuk Uni Eropa juga sudah memasuki putaran kesebelas dan ditargetkan selesai akhir 2022. Beberapa perundingan dengan negara mitra dagang lainnya yang sudah memasuki tahap awal juga akan diteruskan, di antaranya India, Kanada, Pakistan untuk perdagangan barang, dan Chile untuk perdagangan jasa,” katanya.
Terkait sektor perdagangan dalam negeri, Mendag mengungkapkan, secara umum inflasi volatile food sepanjang 2021 sekitar 3,20 persen YoY, relatif rendah dibanding tahun sebelumnya 3,62 persen YoY.
Pada 2021, volatile food menyumbang 16 persen dari keseluruhan inflasi yang tercatat sebesar 1,87 persen YoY.
Melihat dinamika inflasi selama empat tahun terakhir, terdapat dua periode kenaikan harga setiap tahunnya, yaitu pada periode Puasa-Lebaran, serta Natal-Tahun Baru.
Tapi, pada periode Puasa-Lebaran 2021, inflasi volatile food di bawah satu persen. Hal itu menunjukkan tidak terjadi kenaikan harga yang terlalu signifikan karena pasokan pangan yang cukup dan permintaan yang belum pulih sepenuhnya akibat pandemi.
Sedangkan pada periode Natal dan Tahun Baru 2021, komoditas yang menyumbang inflasi antara lain telur, daging ayam, minyak goreng, cabai rawit merah, dan daging sapi.
“Kalau dilihat dari harga-harga barang tersebut, sekarang cabai sudah turun signifikan dibanding akhir tahun lalu. Sementara, telur ayam harganya sudah mendekati harga acuan,” imbuh Lutfi.
Dalam forum yang sama, Profesor Muhammad Ikhsan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyampaikan, inflasi harus dijaga di tingkat normal yaitu 3+1 persen.
Sementara pada 2021, inflasi tercatat 1,87 persen yang artinya di bawah normal. Capaian 2021 merefleksikan permintaan yang masih rendah.
Selain itu, juga karena keberhasilan dalam mengendalikan inflasi volatile food yang terendah selama empat tahun terakhir.
Menjaga inflasi tetap normal dilakukan dengan menjaga produksi, menjaga perubahan suplai supaya stok di dalam negeri tetap ada, serta menjaga administered prices tidak naik.
Menurut Ikhsan, pada 2022 terdapat beberapa risiko yang harus dihadapi. Di antaranya mengenai volatile food, kenaikan harga pangan pada Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Selain itu, adanya kenaikan harga komoditas seperti minyak goreng serta antisipasi kondisi cuaca.
“Hal tersebut harus diwaspadai terutama pada triwulan pertama. Untuk itu perlu disiapkan mitigasi, misalnya dengan meningkatkan stok supaya inflasi pada volatile food dapat dijaga. Yang harus juga diantisipasi adalah kenaikan harga energi. Diharapkan hal ini akan bergerak ke pola normal sehingga tekanan pada administered prices bisa berkurang,” terangnya.
Sementara itu, Arsjad Rasjid Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai sisi kebijakan mau pun reformasi struktural yang sedang dijalankan sangat membantu.
Selain itu, Undang-Undang Cipta Kerja akan membuat investasi lebih banyak lagi dan meningkatkan kemudahan berusaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.
“Tahun 2022, hal yang harus ditingkatkan bersama-sama adalah penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi investasi, penyerapan tenaga kerja tercatat 5,9 persen secara tahunan. Jadi, masih ada pekerjaan rumah bagaimana penyerapan tenaga kerja lebih optimal. Selain itu, yang harus diperhatikan juga terkait logistik agar peluang yang ada dapat dimaksimalkan,” ucap Arsjad.(rid/tin/ipg)