Luhur Pradjarto, staf ahli Kementerian Koperasi dan UKM RI meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meninjau ulang kebijakan pelabelan BPA pada kemasan air minum galon berbahan polikarbonat.
Para pelaku usaha air minum yang tergabung dalam Asdamindo (Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum) dan Aspadin (Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan) menolak dan menilai kebijakan tersebut diskriminatif. Ditujukan untuk kepentingan kelompok tertentu saja.
“Kebijakan itu harus ditujukan untuk kepentingan bersama bukan untuk sekelompok tertentu saja. Ini ada kepentingan perusahaan dan kepentingan kepada masyarakatnya,” ujar Luhur di acara meeting online mengupas “Dampak Rencana Pelabelan BPA pada Galon Polikarbonat terhadap UMKM, Depot Air Isi Ulang dan AMDK” yang diselenggarakan Yaksindo.
Kementerian Koperasi dan UKM akan mengayomi dan melindungi para pengusaha UMKM dari kebijakan-kebijakan yang bisa menghambat keberlangsungan usaha sesuai prosedur yang berlaku.
“Kita ingin ada ketentuan yang bijaksana, bukan hanya memenangkan sekelompok tertentu saja,” tukasnya dalam siaran pers yang diterima suarasurabaya.net, Rabu (2/11/2022).
Dia juga mengajak para pelaku usaha air minum untuk terus mencermati potensi luar biasa di balik kebijakan pelabelan BPA. Menurut dia, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) memiliki pangsa pasar yang cukup besar dari kelompok industri minuman ringan, dengan market share mencapai 85 persen. Jumlah industri AMDK lebih dari 500 perusahaan, di mana 90 persennya merupakan industri kecil dan menengah (IKM).
“Kalau pengusaha depot air minum dan pengusaha air minum dalam kemasan bersatu mempunyai kekuatan besar, saya kira ini potensi yang luar biasa yang harus diperjuangkan,” katanya.
M. Imam Machfudi Noor Sekjen Asdamindo di acara yang sama menegaskan bahwa wacana pelabelan BPA ini jelas sangat berdampak terhadap usaha depot air minum isi ulang. “Tentu kami merasakan dampaknya, karena konsumen air minum isi ulang selama ini kan menggunakan galon guna ulang saat membeli air di depot-depot kami. Kalau galon ini dihilangkan, apa konsumen mau beli pakai ember, kan nggak mungkin. Galon sekali pakai juga kan tidak bisa digunakan berulang,” ucapnya.
Dia mengatakan akan banyak usaha depot air minum isi ulang yang bangkrut akibat kebijakan pelabelan BPA ini. Apalagi anggota Asdamindo masih banyak yang tergolong usaha sangat kecil yang pangsa pasarnya hanya 200-300 rumah.
“Sudah puluhan tahun beroperasi, Asdamindo belum pernah mendengar adanya laporan dari para anggota bahwa konsumen mereka ada yang sakit karena telah mengkonsumsi air minum isi ulang. Padahal wadah yang digunakan juga galon guna ulang,” ungkapnya.
Sementara, Rachmat Hidayat Ketua Umum Aspadin mengatakan keberatan dengan pelabelan BPA ini karena menganggap kebijakan itu bersifat diskriminatif. “Kami melihat kebijakan ini sangat diskriminatif karena hanya diberlakukan terhadap produk kemasan galon polikarbonat saja. Padahal, kemasan galon sekali pakai juga ada zat berbahayanya seperti asetaldehid, antimon, dan etilen glikolnya. Tapi kenapa galon ini tidak dilabeli juga seperti halnya galon guna ulang? Kami hanya menuntut rasa keadilan dan kesetaraan dalam hal ini,” katanya.
Asrul Hoesein, pengamat regulasi persampahan, bahkan mempertanyakan keberadaan produk galon sekali pakai yang jelas-jelas akan semakin menambah timbunan sampah bagi lingkungan. Dia pun mengendus adanya kedekatan pemilik produk ini dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dia heran dengan KLHK. Di satu sisi melarang plastik sekali pakai, tapi justru adanya pembiaran terhadap salah satu produsen untuk memproduksi galon sekali pakai. “Ini kan sangat membingungkan kita,” katanya.(iss)