Senin, 25 November 2024

Harga Pangan Naik, Ekonom: Perbaiki Tata Kelola Niaga Pangan

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi pasar. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Gigih Prihantono Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya mengatakan ada tiga hal yang mempengaruhi kenaikan harga bahan pangan.

Pertama, pandemi Covid-19 yang membuat supply dan demand tidak match. Kedua, perubahan iklim yang mempengaruhi siklus pertanian. Ketiga, tata kelola niaga pertanian yang sudah sejak dulu tidak berubah, membuat harga komoditas mudah dipengaruhi spekulan.

“Rata-rata luas sawah petani kita masih di bawah satu hektar. Hitung-hitungannya dua hektar baru untung karena inputnya mahal, sehingga tengkulak mengambil untung relatif tinggi. Margin petani ke tengkulak rendah, dari tengkulak ke pedagang besar cukup tinggi,” kata Gigih dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Senin (20/6/2022).

Selain itu, Indonesia tidak punya kawasan logistik berikat yang menyediakan tempat untuk menyimpan hasil pertanian dalam jumlah besar dan kualitas terjaga dalam waktu lama.

Tata kelola niaga pertanian Indonesia, kata Gigih, sulit diubah karena mekanisme pasarnya oligopoli, memungkinkan munculnya kartel. Sedangkan, opsi menyerahkan tata kelola niaga pertanian sepenuhnya ke pemerintah atau ke kartel, juga bukan pilihan tepat.

“Kalau pemerintah terlalu mengatur bisa terjadi kelaparan. Contohnya Korea Utara dan negara lain yang sentralistik,” ujarnya.

Harapan keberadaan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai pesaing tengkulak hingga kini belum jadi kenyataan. Seandainya Bulog bisa hadir di tengah-tengah petani dan menggeser peran tengkulak, maka petani akan lebih terlindungi.

Sayangnya kaya Diding, Bulog sering mengalami masalah, seperti  misalnya Bulog Gate, sehingga kepercayaan pada Bulog berkurang dan kekuasaannya dikurangi.

“Tata kelola Bulog harus diperbaiki. Perlu pengawasan, termasuk keterbukaan informasi terhadap orang yang mau suplai ke Bulog, cara menyetor hasil pertanian, dan keterbukaan aliran dana, sampai teknologi penyimpanan,” ujarnya.

Tantangan lain yang membuat petani lebih senang menjual hasil pertaniannya ke tengkulak adalah sistem pembayaran Bulog yang mundur sedangkan petani ingin cash and carry.

Gigih mencontohkan, putaran uang di pasar induk Jakarta, misalnya, bisa mencapai Rp10 miliar per hari. Pertanyaannyna jika Bulog perberan di sisi ini apakah Bulog punya kekuatan dana sebesar itu.

“Perlu sinergi berbagai pihak supaya Bulog punya power lebih besar di market, sehingga bisa memotong rantai distribusi. Badan usaha milik desa yang bisa menampung hasil pertanian dari petani, perlu diarahkan ke sana,” kata Gigih.

Penyebab lain petani terikat dengan tengkulak karena sulitnya mengakses lembaga keuangan. Inklusifitas bisa membuka akses pendanaan untuk kegiatan pertanian dapat mengurangi kekuatan tengkulak dan bisa meningkatkan suplai hasil panen.

Hadirnya perusahaan rintisan yang menghubungkan konsumen langsung ke petani pun masih belum masif. Salah satu penyebabnya adalah para petani kurang menguasai teknologi dan perekonomian digital.

Usulan untuk menduplikasi kebijakan negara lain terkait pengelolaan pangan juga dirasa Gigih belum cocok diterapkan di Indonesia. Thailand misalnya. Produktivitas mereka lebih tinggi. Wilayahnya berupa daratan sehingga lahannya lebih luas dan jalur distribusinya lebih mudah. (iss/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
30o
Kurs