Jumat, 22 November 2024

Guru Besar IPB: Hilirisasi Industri Sawit Harus Berpedoman pada SDGs

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi industri kelapa sawit. Foto: Antara

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menyatakan, Pemerintah terus mendorong industri sawit berkelanjutan dari hulu hingga hilir.

Menurutnya, industri sawit penting bagi perekonomian Indonesia dengan kinerja perdagangan yang terus meningkat. Industri itu juga melibatkan banyak pelaku usaha dari berbagai kelompok ekonomi.

“Pengembangan industri hilir juga merupakan upaya strategis untuk meningkatkan nilai tambah industri kelapa sawit agar tidak hanya terkonsentrasi pada bahan baku, tapi perlu terus didorong ke industri hilir bahkan sampai produk akhir. Dengan upaya itu, nilai tambah tentunya akan berada di dalam negeri,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/10/2022).

Rachmat Pambudy Guru besar IPB University menilai, hilirisasai industri sawit berkelanjutan perlu berpegang pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Beberapa di antaranya adalah pembangunan tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, energi bersih dan terjangkau, penanganan perubahan iklim, serta berkurangnya kesenjangan.

“Pembangunan berkelanjutan harus ada payung besarnya yaitu Sustainable Development Goals. Sawit juga diarahkan ke sana,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (21/10/2022).

Untuk mewujudkannya, kata Rachmat, Pemerintah perlu melakukan beberapa tahapan dan langkah. Pertama, menjamin hak atas tanah para petani sawit kecil.

Para petani sawit idealnya diberikan sertifikat hak milik atas tanah yang digunakannya dalam berkebun sawit.

“Pak Airlangga harus memperhatikan petani sawit. Yang diperhatikan pertama adalah hak atas tanah. Bentuknya hak milik,” jelasnya.

Sesudah itu, Pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan dan keteraksesan sarana produksi pertanian. Seperti bibit berkualitas, pupuk yang bagus, saluran irigasi yang mumpuni, akses pembiayaan, hingga jaminan harga yang layak.

“Pemerintah juga harus menjamin bibit bagi petani sawit. Pupuk, irigasi, kredit yang layak dan pantas, harga yang bagus, jadi ada harga minimum TBS,” sambungnya.

Selanjutnya, Rachmat mendorong Pemerintah realisasikan industri hilir yang dimiliki petani. Hal itu penting untuk menjamin terlaksananya hilirisasi industri berkelanjutan.

“Ada industri hilir yang dimiliki petani. Petani harus punya industri hilir,” tegasnya.

Hilirisasi, lanjut Rachmat, juga tidak lantas berhenti pada crude palm oil (CPO). Tapi, harus berlanjut sampai minyak goreng. Ketika itu berhasil dilakukan, maka hilirasasi industri sawit berkelanjutan pun akan terwujud.

“Hilirisasi sampai ke industri hilir, sedemikian rupa. Sehingga ada efisiensi dari hulu, on farm hilir yang miliknya petani. Kalau itu terjadi maka SDGs akan terjadi,” sebutnya.

Sementara itu, Achmad Surambo Direktur Eksekutif Sawit Watch mendorong Pemerintah untuk memperhatikan nasib buruh perkebunan sawit.

Kata dia, kalau RUU Perlindungan Buruh Pertanian dan Perkebunan masih mengantri masuk Prolegnas, minimal ada upaya untuk menjaga keselamatan para buruh.

“RUU itu mandek sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua sampai sekarang. Padahal, dilihat dari kelompok layanan, yang bisa berdampak sudah 20 juta,” katanya.

Berdasarkan data Sawit Watch, jumlah buruh sawit sekitar 7-10 juta orang, dan kalau dihitung dengan anggota keluarganya bisa sampai 20 juta orang.

Pria yang akrab disapa Rambo menambahkan, Pemerintah masih bisa mengupayakan nasib para buruh sawit agar lebih membaik.

“Pertama, perhatikan keselamatan kerja, K3, penting karena banyak terjadi sesuatu hal, seperti kecelakaan kerja, buruh tidak terurus,” ucapnya.

Kemudian, dia meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memperbanyak pengawas perkebunan.

“Pengawas kurang dari 10 pada satu kabupaten, padahal yang perlu diurus kan banyak,” imbuhnya.

Kemudian, pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan atas masalah yang dialami buruh. Buruh bukan hanya tugas Dinas Pertanian dan Perkebunan tetapi juga ada yang menjadi urusan Dinas Tenaga Kerja.

Lebih lanjut, Rambo menyebut pemerintah daerah setengah hati mengadopsi kerangka kerja Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).

“Dari 25 provinsi yang memiliki tutupan sawit, yang mengadopsi baru 9 provinsi dan 14 kabupaten. Rencana aksi nasional ini hanya sekadar jadi macan kertas kalau pemerintah pusat dan daerah tidak mengimplementasikannya,” tandasnya.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs