“Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan,” ujarnya, seperti yang dikutip Antara, Selasa (30/8/2022).
Faisal menuturkan, kebijakan mengurangi subsidi BBM secara bertahap dan mengalokasikan anggaran ke sektor yang lebih produktif adalah jalan terbaik, karena hal itu dapat menjaga stabilitas fiskal APBN.
Polemik subsidi BBM mencuat menyusul potensi membengkaknya biaya subsidi BBM dalam APBN di tengah naiknya inflasi dunia, karena disrupsi rantai pasok akibat pandemi dan perang.
Menurutnya, kondisi itu memunculkan dilema lantaran subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan.
“Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, namun tentu bukan mustahil,” ucap Faisal.
Ia menilai Joko Widodo Presiden sebenarnya sudah membuat kebijakan yang baik di awal pemerintahannya, dan ini perlu dilaksanakan konsisten.
Saat itu, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 yang semangatnya untuk melakukan pengurangan subsidi BBM.
Berdasarkan aturan tersebut, harga BBM kecuali minyak tanah yang nominal harganya ditentukan dan minyak solar yang mendapat subsidi maksimum Rp1.000 per liter, ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global dalam harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS).
Faisal menuturkan, harga jual eceran BBM diubah setiap bulan sesuai dengan perubahan harga minyak di bursa Singapura.
“Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, bahwa pencabutan subsidi akan berdampak besar terhadap pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp191,0 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp34,9 triliun pada tahun 2015.
Namun, formula itu tak sepenuhnya berjalan terhitung sejak adanya Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 yang memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum, yang berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula.
Sejak saat itu, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium terhadap kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.