Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) berkomitmen menginvestasikan 600 miliar Dollar AS dalam bentuk pinjaman dan hibah, untuk proyek infrastruktur berkelanjutan di negara berkembang, selama 5 tahun ke depan.
Mohammad Faisal Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan, Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk mendorong dan mempercepat transisi energi.
“Kalau itu yang dimaksudkan untuk membangun infrastruktur berkelanjutan, saya harapkan juga berkaitan dengan infrastruktur yang arahnya mendorong transformasi yang lebih hijau, dari sisi energi misalnya,” ujarnya di Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Faisal menjelaskan, sektor energi hijau atau berkelanjutan membutuhkan biaya yang sangat besar. Di sisi lain, Indonesia punya beragam sumber daya untuk energi hijau yang belum tergarap karena masalah pendanaan.
“Kalau bicara infrastruktur energi terutama yang lebih hijau, problemnya memang selama ini dari pembiayaan atau kebutuhan investasinya besar. Jadi, memang dibutuhkan tambahan investasi untuk Indonesia yang punya potensi energi hijau sangat luas,” tambahnya.
Walau energi hijau membutuhkan dana besar sebagai investasi awal, pasar dan konsumen energi tersebut juga cukup besar. Kalau infrastruktur energi berkelanjutan sudah terbentuk, dia yakin ongkos operasional jadi lebih murah.
“Pasarnya juga besar. Tapi, butuh dana awal yang tinggi. Sebetulnya kalau sudah ada infrastrukturnya, ongkos operasional lebih murah untuk pengunaan energi yang lebih hijau, misalnya solar panel, dibanding dengan bahan bakar fosil konvensional,” paparnya.
Maka dari itu, Faisal mendorong Pemerintah mengikat komitmen tersebut.
“Jadi, arahnya seperti itu. Diharapkan bisa menjembatani kebutuhan tersebut. Kalau memang ada komitmen, tentu perlu diikat. Karena memang dari sisi kebutuhan investasi infrastruktur yang berkelanjutan itu memang besar,” pungkasnya.
Sebelumnya, Selasa (15/11/2022), ada pertemuan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII), divsela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Indonesia, di Nusa Dua, Bali.
Airlangga Hartarto Menko Perekonomian RI menjadi moderator diskusi para pemimpin dunia tersebut. Pada sesi akhir kegiatan, Joe Biden Presiden Amerika Serikat menutup pertemuan PGII.
PGII merupakan upaya kolaboratif negara G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada dan Prancis) yang diluncurkan pertama kali pada KTT G7 ke-47 di Inggris, Juni 2021.
Senada, Pieter Abdullah Redjalam Direktur Eksekutif Segara Institute bilang komitmen pendanaan PGII senilai 600 miliar Dollar AS bisa dimanfaatkan untuk mempercepat proses transisi energi di Indonesia.
Proyek energi terbarukan (EBT) yang terbengkalai mau pun yang tengah berjalan, perlu mendapatkan pendanaan yang cukup.
“Adanya dana bantuan itu bisa mengejar, melakukan percepatan, shifting dari sumber energi dengan emisi karbon tinggi dengan sumber energi yang emisi karbonnya rendah. Kita bisa kejar target Net Zero Emission (NZE),” ungkapnya.
Dia melanjutkan, sumber daya alam Indonesia begitu melimpah, dan bisa menjadi sumber EBT. Salah satu yang pernah dikaji adalah energi laut.
Hasil kajian Kementerian ESDM, energi laut yang dihasilkan dari gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut (samudera) merupakan sumber energi berupa energi pasang surut, energi gelombang, energi arus laut, dan energi perbedaan suhu lapisan laut.
“Indonesia bukan hanya punya garis pantai yang panjang, tapi arus laut, kondisi yang unik di dunia tidak banyak memiliki potensi itu,” jelas Pieter.
Lebih lanjut, Piter mengapresiasi kerja keras Pemerintah melaksanakan event G20.
“Indonesia sejak awal ingin menciptakan sesuatu yang nyata dari forum G20. Itu dilaksanakan secara serius, dengan mimpi dalam G20 ada banyak sekali forum, dan diarahkan pada bentuk bentuk yang nyata,” katanya.
Dengan kesungguhan Pemerintah Indonesia menjalankan presidensinya, Piter menilai India punya tugas berat selaku presidensi G20 berikutnya, untuk membuat gelaran yang sepadan.(rid/ipg)