Joko Widodo (Jokowi) Presiden telah memutuskan untuk melarang ekspor minyak goreng (migor) maupun bahan baku minyak goreng (CPO) ke luar negeri terhitung mulai 28 April 2022, agar ketersediaan migor di dalam negeri melimpah dan harganya terjangkau.
Menyikapi kebijakan Pemerintah terbaru ini, Mulyanto Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS meminta agar Pemerintah mengkaji ulang secara seksama keberadaan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).
Menurut Mulyanto, dengan kebijakan pelarangan ekspor sawit dan turunannya, maka eksistensi lembaga tersebut menjadi tidak relevan.
“Sesuai Peraturan Pemerintah No. 24/2015 dana yang dikelola BPDPKS ini kan utamanya dari pungutan ekspor sawit. Kalau tidak ada ekspor sawit dan turunannya maka berarti tidak ada obyek yang dipungut. Artinya tidak ada lagi dana pungutan sawit yang akan dikelola. Praktis BPDPKS menjadi tidak relevan,” jelas Mulyanto dalam keterangannya, Rabu (27/4/2022).
Selain itu, Mulyanto juga mendesak BPK memeriksa secara khusus pengelolaan dana pungutan sawit ini. BPK harus memeriksa apakah pengelolaan dana tersebut sudah efisien-berkeadilan dan sudah tepat sasaran. Khususnya terkait dengan subsidi biofuel.
Pasalnya, pada saat harga CPO jatuh, penggunaan biofuel dalam campuran solar sebagai instrumen untuk menyerap produk sawit cukup efektif. Upaya ini membantu menstabilkan harga CPO sekaligus mengurangi impor BBM. Selain itu dapat meningkatkan kontribusi sumber EBT (Energi Baru Terbarukan) dalam negeri.
“Namun ketika harga CPO dunia melambung tinggi, seperti sekarang ini, maka logika dasar tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Beban subsidi biofuel menjadi selangit. Dari data yang ada, sampai akhir tahun 2021 dana pungutan sawit yang digunakan untuk subsidi industri biofuel sebesar Rp110 triliun atau sekitar 80 persen dari dana sawit yang terkumpul di BPDPKS. Ini jumlah yang sangat besar dan memberatkan,” tegas Mulyanto.
Akibatnya, kata dia, justru menelantarkan program peremajaan sawit rakyat, yang faktanya dianggarkan tidak sampai lima persen dari anggaran BPDPKS.
“Padahal peremajaan sawit rakyat adalah ruh dibentuknya BPDPKS ini. Di sisi lain, pengusaha refinery pemasok biofuel, yang secara otomatis menerima dana subsidi tersebut, ditengarai adalah perusahaan raksasa sawit yang itu-itu juga. Dana subsidi biofuel yang mereka terima lebih besar dari pungutan sawit yang mereka bayarkan,” ungkap Mulyanto.(faz/ipg)