Jumat, 22 November 2024

Analis Menilai Naiknya Suku Bunga Acuan BI di Tengah Landainya Inflasi Membingungkan Pasar

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi mata uang Dolar AS dan Rupiah. Foto: Antara

Lukman Leong Analis DCFX Futures mengatakan, langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin ke 5,25 persen untuk menjaga stabilitas Rupiah membuat pasar bingung.

Menurutnya, dengan data inflasi yang mulai mereda, harusnya BI lebih fokus pada penanganan inflasi, bukan mata uang. Mata uang Rupiah, kata Leong, memang melemah, tapi tidak akan di bawah Rp16 ribu per Dollar AS.

“Saya kira kebijakan itu membuat pasar bingung. Karena, data inflasi menunjukkan deflasi, atau tekanan inflasi mulai mereda. Namun, BI melakukan itu untuk menjaga Rupiah, melakukan intervensi, khawatir jika imbasnya ke perekonomian. Kemungkinan BI tetap fokus pada kenaikan suku bunga berdasarkan ekspektasi inflasi. Mata uang stabil, agak melemah tapi masih dalam batas wajar. Negara mana yang bisa mempertahankan mata uang mereka sekarang ini?” ujarnya di Jakarta, Senin (21/11/2022).

Senada dengan Lukman, David Sumual Ekonom Bank BCA menyebut pelemahan nilai tukar Rupiah masih dalam batas wajar.

“Tekanan terhadap Rupiah sebenarnya masih tergolong manageable dibanding negara emerging market lain yang banyak kelemahannya sudah double digit,” ucapnya.

Dia memprediksi, bulan depan Bank Sentral Amerika (The Fed) akan melakukan pertemuan terakhir. Lalu, aksi menaikkan suku bunga yang ekstrem akan berakhir.

“Itu pertanda bagus. Bisa jadi Dollar AS terkoreksi. Tapi, itu masih proyeksi ya,” sebutnya.

David menambahkan, memantau aksi The Fed, spread antara suku bunga Rupiah dan Dollar AS harus dijaga tetap menarik di tengah masih berlanjutnya ekspektasi kenaikan Fed Rate.

Kemudian, dengan suku bunga acuan yang naik, berdampak pada kredit, pertumbuhan usaha, dan impor. Sementara, masyarakat bisa mengamankan uang mereka agar tidak tergerus inflasi.

Mengamankan aset mereka di tempat yang cair sambil menunggu tren kenaikan suku bunga tinggi selesai.

“Berakhirnya era suku bunga yang tinggi, mungkin dalam enam bulan ke depan itu jelas akan berhenti, dan investasi akan sangat bagus di saham,” timpalnya.

David menambahkan, dengan melemahnya Rupiah terhadap Dollar AD, akan muncul inflasi dari segi impor. Kemudian, pengusaha yang masih belanja impor dengan Dollar AS, harus bisa mengamankan nilai mereka.

Sementara itu, Josua Pardede Chief Economist Bank Permata menilai kenaikan suku bunga merupakan langkah preemptive untuk menjangkar ekspektasi inflasi. Sehingga, inflasi inti tahun 2023 kembali dalam sasaran inflasi BI.

“Keputusan kenaikan suku bunga juga ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang diperkirakan masih akan dipengaruhi oleh sentimen arah suku bunga Fed,” terangnya.

Dia menambahkan, kenaikan itu juga akan berpengaruh pada perekonomian domestik. Beberapa sektor yang terpengaruh adalah investasi sektor usaha dan belanja masyarakat.

“Berpotensi berdampak pada perekonomian domestik terutama dari sisi cost of borrowing yang selanjutnya juga mempengaruhi konsumsi masyarakat dan investasi sektor usaha,” tambahnya.

Walau begitu, penyesuaian suku bunga perbankan terutama suku bunga kredit termasuk suku bunga kredit pemilikan rakyat (KPR) diperkirakan akan mengalami jeda.

Pihak perbankan akan mempertimbangkan kondisi likuiditas bank serta risiko kredit perbankan yang bervariasi.

“Namun secara umum tingkat suku bunga kredit belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dan diperkirakan penyesuaian suku bunga kredit perbankan baru akan terindikasi pada Semester I 2023,” ungkapya.

Lalu, kenaikan suku bunga juga diiringi dengan kebijakan makroprudensial. Kebijakan itu berperan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK), serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.

“Meski suku bunga acuan BI naik dan yang selanjutnya berpotensi mendorong moderasi perekonomian domestik dalam cakupan makroekonomi. Tapi, di saat bersamaan BI juga tetap melanjutkan kebijakan makroprudensial yang longgar hingga akhir tahun 2023 yakni uang muka (DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) yakni 0 persen, dan loan to value KPR 100 persen,” paparnya.

Artinya, masyarakat yang baru mau mengambil kredit KPR atau KKB berpeluang untuk membayar DP yang cenderung rendah, dan dimungkinkan untuk 0 persen tergantung dari risk appetite masing-masing bank.

Josua bilang, tidak bisa dipungkiri kenaikan suku bunga akan berpengaruh terhadap permintaan kredit. Kebijakan makroprudensial BI diharapkan mampu meredam dampak dari kenaikan suku bunga tersebut, dan pertumbuhan kredit bisa cukup solid.

Lebih lanjut, Josua mendasarkan analisis pada indikasi non-performing loan (NPL) kredit konsumsi termasuk NPL KPR dan NPL KKB yang cenderung tetap rendah dan bahkan lebih rendah dari kredit produktif dan total kredit.

“Pada umumnya kenaikan suku bunga berpotensi membatasi permintaan kredit. Diharapkan dengan bauran kebijakan BI di mana kebijakan makroprudensial yang tetap longgar, maka diharapkan momentum pertumbuhan kredit termasuk kredit KKB dan KPR diperkirakan akan tetap solid,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs