Jumat, 22 November 2024

Progesivitas Tarif Pajak di RUU HPP Cerminan Prinsip Keadilan

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Pemerintah yang diselenggarakan pada Rabu (29/9/2021), Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan (Menkeu) selaku wakil Pemerintah bersama DPR RI sepakat untuk meneruskan pembahasan Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) ke Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan pada sidang paripurna DPR RI. Foto: Kemenkeu

Yustinus Prastowo Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis mengatakan bahwa progesivitas tarif pajak di Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) adalah pencerminan prinsip keadilan dalam perpajakan.

“Yang mampu membayar pajak lebih tinggi, yang tidak mampu dibantu atau ditolong. Semakin tinggi penghasilan seseorang akan semakin tinggi pajak yang harus dibayarkan. Ini prinsip yang berlaku secara universal,” kata Yustinus dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Senin (18/10/2021).

Undang-undang terkait pajak perlu diperbarui karena sudah berusia 15 tahun. Untuk menyesuaikan dengan dinamikan ekonomi karena sudah terlahir kelas masyarakat berpenghasilan tinggi yang baru. RUU HPP ini juga untuk mempersiapkan skema baru penerimaan negara di kemudian hari yang sudah tidak bisa hanya bergantung pada utang.

“Pemerintah melihat, ini saat yang tepat, saat fase pemulihan ekonomi, kita harus memperluas penerimaan pajak karena tidak mungkin bergantung utang. Mau tidak mau kita siapkan skema bertumpu pada penerimaan pajak sebagai hasil dari aktivitas ekonomi,” ujarnya.

Khusus di masa pandemi ini, saat ekonomi secara global mengalami perlambatan dan penurunan, pemerintah justru berkomitmen menggunakan pajak sebagai insentif untuk UMKM, karyawan, perusahaan, ekspor-impor. semua mendapat insentif.

Yustinus yakin progesivitas tarif pajak di RUU HPP tidak menyebabkan kekhawatiran penanam modal. Karena sebelum ada RUU HPP, pemerintah sudah melakukan dua relaksasi melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menurunkan tarif pajak perusahaan dari 25 ke 23 persen. Artinya perusahaan akan membayar pajak lebih rendah sehingga selisihnya bisa untuk menambah modal.

Kedua pemerintah melalui UU Cipta Kerja juga merelaksasi tarif pajak atas dividen menjadi nol persen. Artinya kalau seseorang mendapat banyak keuntungan, PPh Badan turun. Kalau mendapat deviden tidak dikenai pajak. “Saat ini penguatan sistemnya supaya betul betul yang mampu membayar pajak, yang tidak mampu kita lindungi,” kata Yustimus.

Untuk jangka pendek, pemerintah tidak menargetkan tambahan penerimaan. Justru di skema baru ini, pemerintah memberikan perlindungan lebih kuat untuk menengah ke bawah. Penghasilan tidak kena pajak Rp54 juta setahun dipertahankan. Artinya mereka yang gajinya Rp4,5 juta ke bawah per bulan tidak kena pajak.

Penghasilan kena pajak sampai Rp50 juta per tahun diperlebar sampai Rp60 juta. Artinya mereka yang punya gaji kotor 114 juta per tahun atau sekitar Rp9 juta per bulan akan kena 5 persen saja. “Bisa hemat sampai sejuta rupiah per tahun. untuk di atas 5 miliar jadi 35 persen. Tidak banyak, sekitar 3.000 orang. Harapannya ada peningkatan kepatuhan sukarela dari wajib pajak, ke depannya ada peningkatan pendapatan negara,” ujar Yustinus.

Pemerintah telah melibatkan hampir semua pemangku kepentingan untuk menyiapkan RUU HPP dan aturan turunannya untuk mempermudah pelaksanaan di masyarakat termasuk sistem administrasinya. Pemerintah optimis kepatuhan pajak setelah RUU HPP berlaku akan meningkatkan pendapatan pajak. Sekarang PP dan Peraturan Menteri Keuangan sedang digodok dan akan diundangkan. UU HPP berlaku sejak diundangkan, menunggu tanda tangan presiden. Sebagian ada yang berlaku mulai Januari 2022, tarif PPN 10 persen akan berlaku 1 April 2022, sebagian berlaku mulai 2025 karena menunggu kesiapan sistem administrasi.

RUU HPP juga mengatur agar wajib pajak tidak melakukan penghindaran pajak secara eksesif. Di sisi lain, pemungut pajak tidak melakukan pemungutan pajak secara eksesif sehingga yang muncul kepatuhan sukarelanya.

Menurut Yustinus, kepatuhan formal wajib pajak sudah menunjukkan tanda tanda peningkatan. Sudah ada kesadaran untuk menyampaikan SPT. Pengawasan terus dilakukan meskipun masih ada yang berusaha melanggar. Dalam tiga tahun terakhir Dirjen Pajak telah memeriksa lebih dari 200 ribu laporan  hasil dari pemeriksaan. Lebih dari 400 berkas diajukan ke kejaksaan untuk dituntut karena melanggar pidana pajak. (iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs