Indonesia memiliki komitmen sesuai dengan Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional. Komitmen tersebut akan menelan biaya sebesar USD365 miliar dengan sumber daya sendiri serta USD479 miliar dengan dukungan internasional.
Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan (Menkeu) menjelaskan bahwa Indonesia mengembangkan kerangka keuangan berkelanjutan yang diantaranya melalui kebijakan fiskal, penerbitan instrumen pembiayaan hijau, menarik keterlibatan peran sektor privat, dan menjalin kerjasama dengan otoritas sektor keuangan.
“Pertama-tama, kami tentu saja menggunakan tools kami sendiri yaitu fiscal tools dimana kami mengembangkan pendanaan anggaran yang didedikasikan untuk iklim sebesar 4,1 persen dari pengeluaran kami terkait dengan perubahan iklim, dan ini memenuhi 34 persen dari (total) pendanaan (yang diperlukan),” jelas Menkeu pada acara The Finance on Common Summit – High-Level Session yang dilakukan secara daring.
Selain itu, menurut Sri Mulyani, Indonesia juga menggunakan instrumen kebijakan di sisi fiskal seperti tax allowance, tax holiday dan skema insentif lainnya untuk memberikan dukungan yang lebih banyak pada proyek-proyek perubahan iklim termasuk energi terbarukan.
“Kami juga dalam hal ini mengembangkan green bond (obligasi hijau) sebagai instrumen pembiayaan baik yang diterbitkan secara global maupun domestik. Obligasi hijau global kami sejak 2018 hingga 2020 telah diterbitkan dengan jumlah total 3,5 miliar USD, dan obligasi hijau domestik ritel kami sebesar 490 juta USD,” terangnya.
Obligasi hijau ini membiayai lima bidang, yaitu energi terbarukan, efisiensi energi, peningkatan ketahanan iklim untuk wilayah rentan serta menciptakan transportasi yang berkelanjutan, dan pengelolaan sampah. Dengan obligasi hijau ini, Indonesia mampu mengurangi 10,3 juta ton emisi gas rumah kaca setara CO2.
“Kami juga dalam hal ini menerbitkan obligasi SDG, ini baru saja diterbitkan senilai 500 juta euro dengan bunga 1,35 persen yang sangat kompetitif. Obligasi SDG adalah untuk peningkatan layanan sosial dan lingkungan,” tambah Menkeu.
Sri Mulyani juga menekankan bahwa diperlukan partisipasi sektor privat untuk mengembangkan kerangka keuangan berkelanjutan. Maka, pemerintah menciptakan platform untuk bauran pembiayaan yang dapat menghimpun dana dari filantropi baik publik dan swasta serta juga dana dari lembaga multilateral untuk membiayai proyek keuangan berkelanjutan.
“Kami juga bekerja sama dengan regulator atau otoritas sektor keuangan agar kami dapat mengintegrasikan keuangan berkelanjutan dan ESG (Environmental, Social and Governance), termasuk isu iklim yang diangkat dalam program kerja industri keuangan. Kami juga membuat instrumen keuangan dan mengembangkan instrumen keuangan di pasar modal termasuk obligasi berkelanjutan, green index, perdagangan karbon,” kata Sri Mulyani.(faz/tin)