Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong masyarakat di berbagai daerah mendukung diversifikasi aneka olahan tempe yang dikalengkan untuk diperkenalkan di pasar lokal maupun internasional.
“Karena kita tahu tempe ini adalah makanan khas Indonesia yang memiliki nilai gizi tertentu yang sulit ditemukan di makanan lain,” kata Satriyo Krido Wahono Kepala Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) LIPI Yogyakarta saat dihubungi Antara di Yogyakarta, Jumat (5/2/2021).
Satriyo mengatakan saat ini baru ada tujuh olahan tempe yang telah dikalengkan yakni tempe kari, tempe bacem, tempe gurih, tempe sambel, tempe sayur lombok ijo, tempe air garam, dan sari tempe kental manis.
Adapun yang telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru tempe bacem kaleng.
“Tempe kari kaleng pada 2007 sudah dapat izin edar saat produk awal setelah penelitian. Tapi gagal menembus pasar sehingga izin edarnya sudah kedaluwarsa,” kata dia.
Ia yakin masih banyak ragam olahan tempe berbagai pelosok Nusantara yang potensial untuk dikalengkan.
Inisiatif awal pengalengan tempe, kata dia, bermula pada saat digalakkan Program Makan Tempe pada masa Orde Baru sekitar tahun 1970-an. LIPI yang berada di Bandung kemudian mengembangkan teknologi pengalengannya.
Makanan berbahan dasar kedelai yang merupakan temuan Bangsa Indonesia ini memiliki segudang nilai gizi yang baik sehingga menjadi andalan untuk mengatasi kekurangan gizi pada era 70-an.
“Kandungan proteinnya setara dengan daging sapi, vitamin tinggi terutama B12, serta mengandung mineral baik besi, fosfor, dan kalsium,” kata dia.
Dengan dikalengkan, Satriyo menegaskan perubahan kandungan gizi pada tempe dapat diminimalisasi. Melalui serangkaian riset yang dilakukan oleh LIPI, teknologi pengalengan yang dikembangkan dapat mematikan bakteri yang menyebabkan pembusukan.
“Kami melakukan proses sterilisasi secara fisik dengan mengombinasikan suhu, tekanan, dan waktu, sehingga bakteri yang merusak bisa mati,” kata dia.
Menurut dia, seiring dengan perkembangan zaman, tempe yang disajikan dengan kemasan kaleng amat dibutuhkan, khususnya bagi masyarakat perkotaan yang cenderung membutuhkan penyajian makanan ekstra cepat. “Kalau warga di perdesaan tentu relatif masih mudah memperoleh tempe,” kata dia.
Selain itu tempe kaleng yang bisa tahan hingga lebih dari satu tahun dapat menjadi komoditas ekspor masakan Nusantara yang potensial.
“Kalau bisa ekspor tentu bisa jadi kebanggaan. Hasil kearifan lokal ini bisa menjadi produk unggulan di pasar internasional,” kata Satriyo.(ant/ipg)