Sabtu, 23 November 2024

Ketua Banggar DPR Memastikan Rencana Revisi UU KUP Tidak Akan Memberatkan Masyarakat

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ilustrasi. Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11/2019). Foto: Antara

Said Abdullah Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menjelaskan, revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan strategi besar menuju reformasi perpajakan berkeadilan.

Menurut Said, rencana ini berangkat dari niat untuk menguntungkan bangsa ini ke depan. Dia memastikan rencana pemerintah itu tidak akan memberatkan masyarakat.

Karena itu, Said meminta agar wacana ini jangan dibenturkan seolah-olah mau memukul masyarakat bawah sehingga daya belinya menurun.

“Tidak seperti itu. Yakinlah, ini menguntungkan kita semua sebagai anak bangsa,” tegas Said dalam keterangannya, Senin (21/6/2021).

Menurut Said, perdebatan soal rencana revisi KUP ini agak aneh. Pembahasan yang berkembang sekarang sudah liar, bahkan di luar batas kepatutan. Padahal dalam reformasi pajak terdapat berbagai macam tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti PPN umum, PPN Multitarif dan PPN final.

Ironisnya kata Said, yang berkembang sekarang ini PPN ‘multitafsir’.

“Yaitu tafsir seenaknya di luar batas kepatutan. Harus diakui, pemeritnah sekarang ini serba salah, begini salah, begitu salah. Ini kan tidak fair juga,” paparnya.

Said menegaskan, selama ini nuansa berkeadilan hilang dari narasi perpajakan. Revisi perpajakan, tutur dia, tidak hanya mencakup PPN, tapi juga pajak lainnya seperti pajak penghasilan atau PPh Badan, PPh Perdagangan Melalui Sistem Elekronik (PMSE), PPh Orang Pribadi dan Carbon Tax.

“Sebagai contoh, bayangkan saja, di PPh Badan kita, ada 5000 lebih perusahaan menengah atas. Selama 5 tahun bahkan 10 tahun eksis terus, tetapi selalu mengaku rugi,” jelas Said.

Semestinya, kalau lima tahun rugi maka potensi bangkrut. Namun anehnya, tidak bangkrut juga. Maka terhadap perusahaan yang selalu rugi terus tiap tahun tetapi masih eksis maka harus ada kewajiban pajak minimun yang dikenakan.

“Berarti, tingkat kepatuhan membayar pajaknya rendah. Makanya, dikenakan pajak minimun,” terangnya.

Oleh sebab itu Said mendukung rencana pemerintah menaikan tarif PPN dalam revisi UU KUP. Dukungan ini dalam rangka reformasi perpajakan berkeadilan. Akan tetapi, jelasnya, harus ada skema dalam implementasinya, baik itu PPN umum, PPN Multitarif dan PPN final.

“Tidak bisa di-gebyah-uyah bahwa masyarakat bawah yang tradisional langsung beli beras kena PPN. Tidak seperti itu,” urainya.

Namun demikian, menurut Said, kalaupun itu benar dilakukan maka DPR akan memaksa pemerintah memberikan stimulus ke masyarakat lapisan bawah. Berdasarkan strukturnya, komposisi masyarakat Indonesia terdiri dari 40 persen masyarakat kelas bawah, 40 persen masyarakat kelas menengah dan 20 persen masyarakat kelas atas.

“Nah, yang ramai komentar soal PPN ini kan 40 persen kelas menengah dan 20 persen kelas atas. Yang kelas bawah mereka diam. Tetapi, jangan karena tidak tau apa-apa, kita tidak melakukan pembelaan. Itu kan tidak boleh,” tegas Said.(faz/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs