Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur telah menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022 pada Selasa (30/11/2021) rata-rata sebesar Rp 75.000 atau naik 1,75 persen.
Atas keputusan tersebut, Adik Dwi Putranto Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur menyatakan ini sangat memberatkan pengusaha.
“Ini keputusan yang berat bagi pengusaha. Terlebih situasinya juga masih pandemi. Dan sebenarnya juga berat bagi buruh dan pemerintah. Namun keputusan tersebut harus kita hargai. Karena menurut saya, angka kenaikan Rp 75 ribu itu mungkin adalah angka kebersamaan karena pemerintah juga harus mengakomodir tuntutan buruh,” kata Adik dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Rabu (1/12/2021).
Dia menyarankan jika ada buruh yang keberatan sebaiknya menyampaikan aspirasi melalui jalur hukum, dan jangan melangsungkan aksi demo kembali karena akan menganggu perekonomian.
“Kalau ada yang tidak setuju, silakan menempuh jalur hukum. Yang terpenting kita harus bisa menjaga stabilitas ekonomi Jatim,” imbuhnya.
Keberatan tersebut juga merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan.
Dalam PP tersebut dijelaskan adanya ketentuan tidak ada kenaikan upah untuk 5 kabupaten kota, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto.
Upah di lima kabupaten kota tersebut dianggap sudah melampaui batas maksimal sehingga ketika ada kenaikan upah kembali, akan sangat memberatkan pengusaha dan menimbulkan disparitas upah yang cukup tinggi dengan kota lain, misalnya dengan upah di daerah Jawa Tengah.
“Kita ambil contoh upah di Surabaya dan Solo. Tahun ini UMK Surabaya sebesar Rp 4.300.479,19 dan di tahun 2022 menjadi Rp 4.375.479,19, naik Rp 75.000. Sementara UMK Solo tahun 2021 sebesar Rp 2.013.810 dan di tahun 2022 menjadi Rp 2.034.810, naik sebesar Rp 21.000. Artinya, disparitas upah antara Surabaya dengan solo mencapai lebih dari Rp 2,3 juta,” katanya.
Sementara industri di Jateng memiliki banyak kesamaan dengan industri yang ada di Jatim, termasuk pasarnya juga sama. Sehingga hal ini akan berpengaruh pada daya saing produk yang dihasilkan.
“Sehingga ini sangat mengganggu daya saing produk yang dihasilkan industri di Jatim. Untuk itu, kami berharap tahun depan harus ada kepastian hukum. Jika sudah ditetapkan tidak ada kenaikan ya harusnya tidak naik,” kata dia.
Karena menurut dia, kalau di tahun depan masih tidak ada kepastian tidak meutup kemungkinan bakal banyak industri di Jatim yang merelokasi perusahaannya dan bergeser ke daerah yang UMK-nya relatif rendah.
“Sekarang kan akses tol sudah banyak,” tutur Adik.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebenarnya upah tinggi akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi, baik daerah maupun nasional.
Lapangan kerja menjadi terbatas, karena pasti akan ada upaya efisiensi atau rasionalisasi yang dilakukan pengusaha karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Selain itu upah yang tinggi juga berdampak terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin, memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Disisi lain, pengusaha yang akan membuka lowongan pekerjaan juga berfikir lagi dengan besarnya kenaikan upah yang dipaksakan tersebut. Sehingga akan terjadi perlambatan perluasan kesempatan kerja baru,” ujar Adik.
Selain itu, kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada iklim investasi di sebuah daerah. Kebijakan kenaikan upah yang melebihi kemampuan investor akan mendorong terjadinya relokasi perusahaan.
Dari lokasi ke lokasi yang memiliki nilai upah minimum tinggi ke yang lebih rendah, hingga mendorong tutupnya perusahaan.
Selain itu upah yang terlalu tinggi juga bisa berpengaruh pada indeks daya saing Indonesia dan juga kepastian hukum di Indonesia, sehingga mempengaruhi kepercayaan investor dan bisnis.(wld/dfn/rst)