Jumat, 22 November 2024

Ini Alasan Pengusaha Makanan Membuang Kelebihan Produksinya

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi food waste/ makanan terbuang. Foto: istockphoto

Menjelang Peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada hari ini, Sabtu 16 Oktober, beberapa waktu lalu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengumumkan bahwa sampah makanan di dalam negeri menyebabkan kerugian yang mencapai Rp200-500 triliun per tahun atau setara 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Kerugian ekonominya luar biasa. Kalau dari data statistik terakhir, sih, rata-rata satu orang di Indonesia itu membuang 300 kilogram makanan per kapita per tahun. Tinggal dikalikan saja dengan jumlah 200 jutaan penduduk,” ujar Eva Bachtiar Pendiri Gerakan Garda Pangan kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (16/10/2021).

Eva mengatakan, fenomena pembuangan sampah makanan atau food wasting di Indonesia ini memang termasuk salah satu yang cukup besar di dunia. Tapi bukan berarti semua orang Indonesia suka membuang makanan. Menurut Eva, tidak bisa semuda itu bisa digeneralisasi. Hanya saja dia mengakui, fenomena food wasting itu terjadi di sepanjang rantai pasok dari hulu sampai hilir.

“Jadi mulai makanan diproduksi di pertanian misalnya, itu akan selalu ada hasil tani yang terbuang. Kemudian saat dikirim, biasanya tetap ada yang rusak. Lalu saat packaging, kemudian masuk ke toko, biasanya nanti akan ada yang kebuang karena tidak terjual. Itulah yang sebenarnya kalau ditotal menghasilkan sampah makanan yang cukup banyak di Indonesia,” katanya.

Di hilir, ada individu masyarakat, keluarga, serta para pengusaha makanan yang cukup besar berkontribusi dalam besarnya sampah makanan secara nasional. Individu masyarakat Indonesia, misalnya, Garda Pangan menyimpulkan bahwa kebiasaan membuang makanan itu sebenarnya tidak terjadi pada setiap orang. Termasuk pada setiap keluarga atau rumah tangga.

Hanya saja, pada beberapa kalangan baik individu maupun keluarga yang terkategori menengah ke atas, menurutnya masih banyak yang cenderung tidak sayang membuang kelebihan makanan yang mereka konsumsi sehari-hari.

“Ya, mungkin karena mereka relatif merasa mudah mendapatkan makanan itu, ya. Jadinya cenderung tidak terlalu sayang ketika membuang-buang makanan,” katanya. “Tapi sebenarnya ini harus dilihat sebagai masalah nasional, masalah agregat. Jadi rantai pasok makanan kita, dari hulu sampai hilir memang banyak terjadi kebocoran pembuangan makanan di situ.”

Sedangkan untuk kalangan pengusaha makanan, menurutnya sebagian besar pada akhirnya terpaksa harus membuang kelebihan produksi makanannya. Kata Eva, hal itu sempat memunculkan pertanyaan bagi sejumlah orang: kenapa para pengusaha makanan itu tidak memberikan saja kelebihan makanan itu ke orang lain daripada membuangnya?

“Banyak teman yang bingung, kenapa sih bakery itu buang-buang rotinya? Kok, enggak dikasih orang saja? Kami banyak ngobrol dengan pengusaha, sebenarnya mereka punya concern. Bukan berarti karena mereka itu enggak peduli sosial atau peduli sesama. Tidak sesimpel itu,” ujarnya.

Pertama, kata Eva, para pengusaha makanan itu punya kekhawatiran tersendiri berkaitan dengan merek atau standar produk yang telah mereka jaga dengan sungguh-sungguh. Salah satunya, mereka khawatir, seandainya makanan itu mereka donasikan, ternyata pihak yang menerima makanan itu tidak terpercaya kemudian menjual lagi makanan yang mereka terima?

“Sedangkan mereka, kan, susah payah menjaga image (citra) perusahaan. Kalau misalnya itu rusak, nanti bisa merugikan perusahaan. Lalu yang kedua, ada juga yang concern kalau misalnya mereka mendonasikan kelebihan makanan. Biasanya, kan, kondisinya sudah tidak terlalu fresh. Kalau yang menerima kenapa-kenapa: keracunan, dan segala macam, misalnya, perusahaan mereka bisa dituntut. Concern ini sangat valid. Siapa pun yang punya bisnis makanan akan punya concern yang sama,” ujar Eva.

Karena itulah, kata Eva, perlu ada sistem yang bisa membuat para pengusaha makanan itu merasa nyaman untuk mendonasikan kelebihan produk makanannya. Garda Pangan berupaya menciptakannya. Berusaha meyakinkan bahwa kelebihan makanan yang mereka donasikan tidak dijual lagi, serta membebaskan para pengusaha makanan itu dari tuntutan apa pun.

“Supaya mereka nyaman, ya, kami bikin laporan. Sistem yang akuntabel, transparan, supaya mereka tahu setiap kali mereka mendonasikan makanan sebenarnya dikasihkan ke siapa sih? Siapa yang menerima? Profilnya seperti apa? Itu lengkap. Kalau mereka takut penerimanya kenapa-kenapa, kami punya SOP yang cukup ketat soal higine. Dan kami bebaskan mitra kami (pengusaha) dari kemungkinan penuntutan,” katanya.

Garda Pangan, kata Eva, berusaha menyelamatkan makanan surplus yang dihasilkan industri dan pengusaha kuliner agar tidak sampai terbuang menjadi sampah makanan. Karena menurut Eva, makanan lebih itu akan diterima dengan senang hati oleh orang-orang yang memang membutuhkan makanan.

“Kami ini sebenarnya mempertemukan antara kelebihan makanan ini dengan orang-orang yang membutuhkan makanan. Nanti kami yang akan menjemput makanannya kemudian kami sortir dan langsung kami distribusikan kepada warga-warga prasejahtera yang benar-benar membutuhkan. Saat ini ada 30 relawan inti di Garda Pangan. Relawan hariannya, yang tidak terikat, kalau ditotal-total ada sekitar 1.000-an lebih orang,” katanya.

Di Hari Pangan Sedunia ini, Eva berharap para pengusaha makanan yang mendengar seruannya di Radio Suara Surabaya, yang kebetulan kebingungan dengan kelebihan produksi makanannya, bisa menghubungi Garda Pangan. Sedangkan untuk para individu dan rumah tangga di Indonesia, dia berharap agar mereka lebih peduli pada isu sampah makanan. Setidaknya, yang paling mudah dilakukan, adalah dengan menghargai makanan yang kita dapat.

“Harus ingat kalau makanan yang kita konsumsi itu hasil dari keringat banyak sekali orang. Keringat petani, keringat peternak, dan lain-lain. Jadi, yang paling mudah untuk kita lakukan ya respect sama makanan kita. Habiskan makanan kita, jangan sisain sedikit pun,” katanya.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
32o
Kurs