Enny Sri Hartati ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengingatkan kalau klausul tentang wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako dalam draf RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) akan menimbulkan resistensi publik.
“Pelebaran ke PPN untuk sembako, apalagi jasa pendidikan, pasti akan menguras emosi publik. Kebijakan itu akan menimbulkan resistensi,” ujar Enny di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/6/2021).
Enny melihat munculnya wacana pengenaan PPN untuk sembako menunjukkan tidak ada lagi kreativitas dari pemerintah untuk menggali penerimaan negara.
“Terjadi kebangkrutan inisiatif, inovasi, kreativitas dari pemerintah. Mungkin ini disebabkan adanya diskresi pemerintah pada masa pandemi ini (diskresi UU No. 1 Tahun 2020),” kata dia.
Sementara, Arsul Sani Wakil Ketua MPR meminta pemerintah agar membuka semua potensi, atau paling tidak mempertahankan, penerimaan negara dari sektor pajak. Satu diantara potensi pajak yang perlu didalami lagi untuk digali adalah sektor sumber daya alam, sehingga bukan mengembangkan kebijakan untuk memungut pajak dari sektor konsumsi rill seperti pengenaan PPN untuk sembako.
“Pemerintah seharusnya menjelaskan kepada publik bagaimana meningkatkan atau mempertahankan penerimaan negara dari pajak dan menggali sektor-sektor lain, diluar sektor riil atau yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak, untuk bisa dikenakan pajak,” ujar Arsul.
Menurut Arsul, setiap isu yang berkaitan dengan bertambahnya beban kepada masyarakat seperti penetapan PPN untuk sembako, maka secara tidak langsung isu itu akan dihadapkan dengan sila kelima Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) dan pasal 33 ayat 4 UUD NRI Tahun 1945.
“Kita harus lihat aspek keadilan sosial dalam mendapatkan sumber pendapatan negara. Sebab, pemerintah baru saja memberikan keringanan PPNBM terkait otomotif, dan akan jadi kebijakan yang anomali kalau sekarang malah sembako dikenakan PPN,” ujarnya.
Arsul menambahkan, sebelum menetapkan kebijakan seperti pengenaan PPN untuk sembako, sebaiknya perlu dikaji secara komprehensif dan memiliki logical step (langkah logis). Dia mencontohkan pemerintah pernah menetapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Namun publik tidak mendapatkan informasi dan penjelasan soal evaluasi dan keberhasilan kebijakan tax amnesty itu baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
“Sekarang mau diambil lagi kebijakan pengampunan pajak jilid kedua tanpa kejelasan target dan manfaat, serta apakah sudah meningkatkan tax ratio dari pengampunan pajak sebelumnya. Kebijakan ini tidak mengikuti logical step. Dan sekarang ingin mengenakan PPN untuk sembako. Ini yang perlu kita kritisi dari aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
“Karena itu banyak yang menolak kebijakan pengenaan PPN untuk sembako. Kenapa? Karena di tengah pandemi Covid-19 ini, kebijakan pengenaan pajak itu akan melemahkan daya beli masyarakat dan mengganggu roda perekonomian,” tuturnya.(faz/frh/ipg)