Jelang masuknya bulan Ramadan, harga daging kerbau melonjak hingga mencapai Rp 68.000 per kilo. Di Indonesia, daging kerbau dijual lebih mahal dibandingkan di Malaysia.
Ishana Mahisa Ketua Umum Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia atau National Meat Processor Association (Nampa) menyatakan, harga daging kerbau dari bulan Oktober 2020 sampai 29 Maret 2021, telah naik dari Rp52.000/kg menjadi Rp68.000/kg atau naik 31 persen. Selain itu, untuk produk daging kerbau yang sama di supermarket yang sama, harga di Indonesia lebih mahal sekitar Rp20.000/kg dibandingkan harga di Malaysia.
“Jadi harga daging kerbau saat ini naik banyak dan mahal, padahal diimpor oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ini harus dicari solusi bersama jangan sampai masyarakat terbebani menjelang lebaran,” ujar Isha, Kamis (1/4/2021).
Isha mengatakan, pemerintah Malaysia sangat concern dengan rakyatnya. Inflasi harga daging India dari tahun 2016 sampai 2021 praktis tidak ada kenaikan berarti.
“Tidak ada pengenaan pajak untuk pemasukan daging karena mengejar keterjangkauan harga dan protein. Fokus pada pengembangan industri dengan menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga kompetitif,” ujarnya.
Sedangkan di Indonesia, menurutnya, pemerintah belum secara maksimal menerapkan praktek Good Corporate Gorvernance kebijakan pemasukan daging. Inflasi harga daging India terhadap keperluan industri dalam kurun waktu 5 bulan sudah naik 27 persen, dan tidak ada satupun institusi yang bisa menahan.
“Konsumsi daging merah masih terbatas, namun harga pembelian di dalam negeri jauh lebih tinggi dengan harga internasional. Perbandingan harga daging kerbau, daging keperluan konsumen Malaysia dengan Indonesia 17 persen lebih murah Malaysia. Sedangkan daging industri trimming/slice antara Malaysia dengan Indonesia selisih sangat besar di atas 50 persen, perlu deregulasi kebijakan untuk pemasukan kebutuhan industri,” ungkapnya.
Padahal, kata dia, daging kerbau India untuk industri seharusnya dijaga agar tidak naik saat pandemi sehingga produksi dapat terus berjalan. Pengusaha mau berinvestasi karena ada kepastian bahan baku dengan harga yang stabil serta penciptaan lapangan kerja, kenaikan mendekati 30 persen adalah hal yang harusnya sudah luar biasa.
“Industri memerlukan kepastian pasokan bahan baku dan juga kestabilan, kita kalah jauh dengan Negara Jiran yang menurut Kilang Pemproses Daging yang berlokasi di Taman Medan Selangor Malaysia membeli daging kerbau jenis slice dan atau trimming dengan harga sekitar Rp 41.000″ tuturnya.
Sementara, Robert Muda Hartawan Ketua Bidang Kemaritiman, Pertanian, Kehutanan & Lingkungan Hidup Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) mengatakan, pemerintah melibatkan para pelaku usaha rumah potong hewan (RPH) segera melakukan uji empiris untuk menghitung angka konversi yang lebih tepat dari ternak ke daging, dengan melakukan proses uji penyembelihan berbagai jenis sapi maupun kerbau secara bersama-sama.
Robert berharap, Bulog dapat mempercepat proses importasi dan segera melibatkan para mitra distributor untuk merencanakan distribusi daging kerbau ke masyarakat sampai Lebaran nanti.
“Hal ini penting untuk mengantisipasi kenaikan harga berlebihan, serta pikiran negatif terhadap Bulog dan mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” ujar Robert.
Menurut Robert, cara paling efektif untuk menurunkan harga daging sapi dan kerbau yaitu dengan menjamin ketersediaan pasokan dan stok. Artinya, stok tersebut harus jangka pendek dan panjang. Jika pasar melihat pasokan dan stok lancar, maka ada respon positif.
“HIPMI sangat mengapresiasi kepada pemerintah telah bekerja dengan luar biasa dan melakukan yang terbaik, jadi apapun yang sudah dilakukan kalau kita bisa bersama-sama memberikan kontribusi sehingga hasilnya nanti bisa luar biasa apakah supply-nya maupun harganya. HIPMI akan menjadi fasilitator sehingga pemerintah dan dunia usaha ini bisa berdiskusi dengan baik, apapun hasilnya semoga itu yang terbaik untuk kemajuan industri sapi dan kerbau di Indonesia ini,” ucapnya.(faz/dfn/ipg)