Penerapan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi bagian investasi bagi entitas bisnis yang sangat penting di seluruh sektor usaha. Terbukti budaya K3 bisa meminimalisasi pegeluaran tidak perlu akibat biaya yang harus ditanggung dari kecelakaan kerja.
Dengan kata lain, budaya K3 secara tidak langsung sanggup menghindarkan perusahaan dari kerugian. Sebab biaya yang dikeluarkan akibat kecelakaan kerja tidak kecil. Bahkan efek domino yang ditimbulkan dari kecelakaan kerja cukup panjang, ditambah dengan brand awareness perusahaan yang terancam jatuh.
“Biaya langsung maupun tidak langsung menjadi risiko perusahaan,” kata Edi Priyanto Pengurus Asosiasi Ahli Keselamatan & Kesehatan Kerja (A2K3 Jawa Timur) dalam webinar yang diselenggarakan Kadin Jatim bertajuk ‘Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Sebagai Investasi Bagi Perusahaan’, Selasa (28/7/2020).
Edi menambahkan, perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang meliputi pengobatan atau perawatan serta biaya yang harus diasuransikan. Sementara perusahaan kehilangan potensi omzet maupun laba, serta hilangnya waktu hingga sanksi hukum.
Mata rantai yang ditimbulkan akibat kecelakaan kerja mirip gunung es. Jika tidak ditangani, biaya yang ditimbulkan akan semakin besar. Edi mencontohkan anggaran untuk legal/hukum, waktu penyelidikan, penyediaan fasilitas gawat darurat di rumah sakit, dan sewa peralatan jika ada gangguan aset.
Perusahaan masih dituntut mengeluarkan gaji pegawai yang mengalami kecelakaan, melatih pegawai pengganti, upah lembur dan ekstra waktu untuk pekerjaan di bidang administrasi.
“Itu belum termasuk hilangnya nama baik perusahaan. Itu jauh lebih mahal,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), angka kecelakaan kerja mampu ditekan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, jumlah kecelakaan kerja mencapai 110.285 kemudian turun menjadi 105.182 di tahun 2016 dan turun lagi pada tahun 2017 sampai 80.392.
Sementara ILO memperkirakan pekerja meninggal rata-rata 2,78 juta jiwa setiap tahun di seluruh dunia hingga tahun 2017. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai 2,33 juta jiwa.
Adapun Global Burden of Disease Study mengeluarkan riset tahun 2015 tentang jumlah kematian akibat pekerjaan mencapai lima persen. Sedangkan kematian karena penyakit yang ditumbulkan pekerjaan menyumbang 2,4 juta jiwa atau 86,3 persen, dan kecelakaan fatal menyumbang 13,7 persen.
Di Korea Selatan, penerapan K3 memberi dampak positif terhadap angka kecelakaan kerja pada perusahaan konstruksi. Mengutip S.J. Yoon et al/Effect of OHSMS on Work-Related Accident Rate (2013) seluruh perusahaan yang telah tersertivikasi mampu menekan angka kecelakaan kerja dalam tempo empat tahun.
Edi menyampaikan jurus untuk menghindari kecekalaan kerja. Pertama terkait pemberian layanan kesehatan yang meliputi, medical check up, dan fit to work. Kemudian edukasi dan promosi dengan memberi pelatihan kepada pegawai, pemberian sertifikasi, safety induction, safety briefing, dan e-learning web. Terakhir terkait keselamatan kerja yang meliputi, rekayasa engineering alat kerja, otomasi proses bisnis, kelengkapan peralatan safety dan emergency response
Edi berharap, perusahaan bisa mendapatkan benefit dari penerapan K3. Yakni mencegah timbulnya biaya yang lebih besar akibat kecelakaan kerja, menjaga aset perusahaan (pekerja dan fasilitasnya), jaminan pelayanan (handling proses lebih terjamin) kepada pelanggan, memenuhi kepentingan stakeholder, citra positif perusahaan, dan meningkatkan daya saing perusahaan.
“Perusahaan yang sanggup menerapkan budaya K3 bisa dilihat dari tempat kerja dan perilaku pekerjanya,” ujar Edi yang juga Direktur SDM PT Pelabuhan Indonesia III.
Umumnya, saat ini keadaan di tempat kerja telah mengikuti peraturan dan prosedur keselamatan kerja, tersedianya APD dengan baik, alat produksi berfungsi dan selalu dicek rutin, serta lingkungan yang bersih dan rapi.
Pekerja saat ini juga selalu aktif mengikuti kegiatan K3, dengan memberi masukan untuk program K3. Pekerja mengingatkan rekannya tentang bahaya K3, dan selalu mengenakan APD dengan kesadaran tinggi, terlebih saat ini menghadapi Era Adaptasi Kebiasaan Baru.
Penerapan budaya K3 di sebuah perusahaan juga tidak bisa lepas dari peran pemimpin yang selalu sadar akan pentingnya keselamatan kerja. Pemimpin diharapkan bisa menjadi motor sekaligus penggerak budaya K3, untuk menciptakan perusahaan yang sehat.
Komitmen pimpinan perusahaan diharapkan bisa menempatkan organisasi K3 yang dapat menentukan keputusan.
“Tentu saja pimpinan perusahaan harus bisa menyediakan anggaran, SDM, perencanaan dan pelaksanaan K3 secara tepat,” pungkasnya. (bas/ipg)