Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Jawa Timur menopang pertumbuhan ekonomi mencapai 57,52 persen dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan menyerap 98 persen tenaga kerja.
Atas kontribusi itu, berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Jatim pada 2019 mencapai 5,52 persen, lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 5,02 persen.
Tidak hanya itu, PDRB Jatim menyumbang 14,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto Nasional. Sayangnya, kekuatan UMKM dalam pertumbuhan ekonomi tidak diiringi kepatuhan membayar pajak.
Dr. Timbul Hamonangan Simanjuntak, SE., MA Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha, sekaligus Direktur Research and Development (R&D) IC Consultant melakukan penelitian tentang perilaku pajak UMKM di Jatim.
Sebanyak 283 pelaku UMKM kerajinan tangan di sejumlah kabupaten/kota di Jatim menjadi objek penelitian bertajuk “Kupas Tuntas Perpajakan UMKM dan Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak” yang disampaikan Dr Timbul di Seminar Perpajakan 2020. Seminar itu diselenggarakan PT Das Global Consultindo, Rabu (18/3/2020) di Surabaya.
Bersama Imam Mukhlis rekan penelitinya dari Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang, penelitian itu menemukan bahwa tingkat kepatuhan pelaku UMKM di Jatim masih rendah.
Salah satu indikatornya, ada sebanyak 79 persen dari total responden pelaku UMKM kerajinan tangan di Jatim yang menjadi objek penelitian ini tidak punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Lainnya terlihat dari respons responden atas kuesioner yang diajukan. Mayoritas responden penelitian (42 persen) menyatakan, mereka tidak pernah tepat waktu dalam membayar pajak.
Selain itu, 42 persen responden menyatakan tidak pernah tepat waktu menyampaikan laporan surat pemberitahuan (SPT) pajak, dan 37 persen responden mengaku tidak pernah bersedia membayar pajak.
“Padahal, kami menemukan, rentang usia responden terbesar (33,1 persen) pada interval 43 sampai 48 tahun. Masih dalam rentang usia produktif dan bisa mengembangkan usaha,” ujarnya.
Masalahnya, Dr Timbul mendapati bahwa karakteristik UMKM yang tidak terlalu perlu pendidikan tinggi, mudah dilakukan, dan bermodal tidak terlalu besar, membuat pemahaman aturan perpajakan juga rendah.
“Mereka tidak paham aturan perpajakan, sehingga secara otomatis tidak memahami bagaimana melaksanakan hak dan kewajiban mereka sebagai wajib pajak,” ujarnya.
Bahkan, kata dia, masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan pajak pusat dengan daerah, serta berasumsi dengan melunasi PBB dan Pajak Kendaraan Bermotor mereka sudah bayar semua pajak.
Padahal sebagai penyokong ekonomi Jatim, potensi fiskal pajak dari UMKM di Jatim itu sangat besar. Karena itu, menurutnya, perlu adanya upaya strategis. Tidak cukup dengan kebijakan keringanan pajak.
“Masalahnya, sosialisasi yang dilakukan pemerintah selama ini tidak efektif. Padahal pemerintah menerapkan kebijakan PPh dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Kalau wajib pajaknya tidak paham, sama saja,” katanya.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 pemerintah menerapkan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final 1 persen menjadi 0,5 persen dari peredaran sampai dengan Rp4,8 miliar dalam setahun.
Kebijakan yang bertujuan untuk keadilan, kemudahan, sehingga beban pajak yang ditanggung pelaku UMKM lebih kecil itu tidak akan dipahami kalau tidak ada sosialisasi yang lebih komprehensif.
Tidak cukup dengan menyatakan bahwa masyarakat harus berperan aktif membayar pajak dan menyadari bahwa penghasilan yang diterima ada kewajiban yang harus dikembalikan kepada negara.
“Perlu ada strategi baru supaya terjadi hubungan saling percaya antara tax authority dengan pembayar pajak yang kemudian kita kenal psychological contract,” ujarnya.
Dalam konteks Indonesia, Dr Timbul mengatakan, pemahaman itu bisa ditanamkan melalu perspektif bahwa pajak adalah kontribusi masyarakat dalam gotong-royong secara nasional dalam membangun bangsa.
“Dari penelitian ini, kami merekomendasikan adanya pemetaan potensi perpajakan dan membaginya dalam kluster kegiatan usaha dan kondisi wajib pajak. Hasil pemetaan itu bisa menjadi database fiskus,” ujarnya.
Selanjutnya, dari database itu, perlu adanya klasterisasi pelaku usaha UMKM yang mana mereka itulah yang akan menjadi sasaran pembinaan lewat sosialisasi dan edukasi perpajakan secara lebih intensif.
“Pemerintah perlu turun. Tidak bisa sosialisasi dilakukan one way. Kami di Das Global Consultant dan IC Consultant mampu untuk melakukan sosialisasi dua arah. Tujuannya, supaya wajib pajak itu paham perpajakan,” katanya.
PT Das Global Consultindo dan IC Consultant, perusahaan jasa konsultan yang sudah tergabung sebagai Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), menurutnya memiliki apa yang tidak dimiliki konsultan lain, yakni divisi Riset dan Pengembangan.(adv/den/edy)