Dradjad Hari Wibowo Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengaku kaget mendengar pengakuan Supratman Andi Agtas Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Gerindra dan Ledia Hanifa Amaliah anggota tim perumus RUU Cipta Kerja dari Fraksi PKS.
“Sebagi mantan anggota DPR 2004-2009, saya kaget sekali,” ujar Dradjad dalam keterangan tertulisnya kepada suarasurabaya.net, Sabtu (10/10/2020).
Supratman dan Ledia mengakui Tim Perumus (Timmus) RUU Cipta Kerja belum menyelesaikan tugasnya. Jika timmus belum selesai, lalu rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg memutuskan berdasarkan apa?
Dalam salah satu acara televisi, Supratman mengaku telah menunjuk Ledia dan Andreas Eddy Susetyo, anggota Baleg dari Fraksi PDI-P, menjadi tim perumus (timmus) RUU Cipta Kerja.
Ledia, dalam acara yang sama, menjelaskan bahwa perumusan draf RUU Cipta Kerja mengalami kendala dalam keterbatasan tim terutama dalam penyisiran sinergi isi yang banyak itu. Pengecekan tetap dilakukan, kata dia, tetapi keterbatasan timmus dan banyaknya UU yang tercakup maka masih ada pelolosan.
Seharusnya, kata Ledia, memang dalam pembahasan tingkat I, minifraksi di Baleg DPR telah memegang draf RUU Cipta Kerja yang sudah bersih. Yang terjadi, hingga 7 Oktober 2020 pun Ledia belum memegang draf RUU Cipta Kerja yang telah bersih.
Jika benar pengakuan mereka, kata Dradjad, UU Cipta Kerja ini diproses dengan melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR sesuai Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Mari kita lihat Tatib DPR pasal 159 yang bunyinya:
(1) Tim perumus bertugas merumuskan materi rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) huruf b dan huruf c sesuai dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas dan alat kelengkapan DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD.
(2) Rapat tim perumus dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
(3) Tim perumus bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia kerja.
Karena timmus RUU Cipta Kerja belum menyelesaikan tugasnya maka tidak ada draf hasil timmus yang dilaporkan kepada rapat Panja. Sebagai catatan, dengan draf awal RUU Cipta Kerja yang 1.000-an halaman, aneh juga jika timmus hanya dua orang, meski dibantu sekretariat Baleg.
Selanjutnya mari lihat Pasal 161 Tatib DPR yang bunyinya:
(1) Keanggotaan tim sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) huruf d paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota panitia kerja.
(2) Tim sinkronisasi bertugas menyelaraskan rumusan rancangan undang-undang dengan memperhatikan keputusan rapat kerja, rapat panitia kerja, dan hasil rumusan tim perumus dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas dan alat kelengkapan DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD.
(3) Rapat tim sinkronisasi dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
(4) Rancangan undang-undang hasil tim sinkronisasi dilaporkan dalam rapat
panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan.
Tanpa adanya draf hasil kerja tim perumus (timmus) yang dilaporkan ke rapat panja, berarti tim sinkronisasi (timsin) belum bekerja. Jika diklaim timsin sudah bekerja, lalu draf apa yang mereka selaraskan?
Lebih krusial lagi, tanpa hasil kerja timsin, panja memutuskan berdasarkan naskah apa? Ini karena berdasarkan Pasal 163, salah satu acara dalam pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat 1 adalah “c. Pembacaan naskah rancangan Undang-Undang”.
“Jadi wajib hukumnya ada naskah RUU yang dibacakan, dan itu adalah naskah hasil kerja timmus dan timsin,” jelas Dradjad.
Ketentuan Tatib di atas juga sama dengan bunyi Pasal 104, 106 dan 108 dari Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
Kata Dradjad, jika melihat proses di atas, jelas bahwa Pembicaraan Tingkat I untuk RUU Cipta Kerja ini belum selesai.
“Jadi, bukan hanya soal typo seperti yang diklaim sebelumnya. Ini soal Tatib DPR,” kata dia.
Menurut Dradjad, jika Pembicaraan Tingkat I belum selesai tapi Pembicaraan Tingkat 2 (rapat paripurna) dipaksakan maka dokumen RUU-nya belum ada. Tulisan abcd-nya belum ada yang sah di Tingkat 1. Dokumennya boleh tebal tapi tidak ada tulisannya, alias kertas kosong.
Memang ada Pasal 151 ayat (2) Tatib DPR yang membolehkan mekanisme lain dalam Pembicaraan Tingkat I. Namun, selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja kemarin, mekanisme lain ini tidak pernah diputuskan oleh Baleg. Yang dipakai adalah mekanisme standar dalam Tatib DPR.
Rapat Paripurna DPR memang pengambil keputusan tertinggi di DPR. Tapi dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020 itu mengesahkan naskah RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong.
“Saya heran, kenapa teman-teman di DPR seceroboh ini dalam membahas RUU yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak,” pungkas Dradjad. (faz/dfn)