Pandemi Covid-19 merampas pekerjaan, menghilangkan peluang bisnis dan melumpuhkan perputaran ekonomi. Hampir semua orang merasa terpuruk dalam situasi yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Namun di antaranya orang-orang yang bergumul dengan kesedihan dan kekecewaan, muncul mereka yang terus bersemangat dan bangkit dari keterpurukan. Salah satu di antaranya adalah Hosea Benny Setiyono.
Ia adalah satu dari lima keluarga yang terpilih dalam Family Hunt, salah gerakan yang diadakan Suara Surabaya Media, untuk memunculkan keluarga inspiratif yang memiliki semangat, kreatifitas dan upaya untuk bangkit di masa pandemi.
Sama seperti warga yang terdampak lainnya, pria berusia 35 tahun yang akrab disapa Benny ini juga tak menyangka, pandemi datang dan menghilangkan sumber pendapatannya. Bekerja sebagai guru musik, Benny selama ini menghidupi keluarganya dengan tampil di berbagai acara sebagai pianist sekaligus pengajar les privat piano.
“Kalau tampil biasanya ya di acara wedding, kalau les kebanyakan murid saya adalah komunitas gereja. Total ada 6 murid privat dan 2 grup gereja. Jika ditotal, pendapatan dari mengajar bisa melebihi UMR di Kota Surabaya,” kata Benny kepada suarasurabaya.net.
Itu belum lagi upahnya sebagai editor sekaligus penulis di salah satu tabloid renungan salah satu gereja. Sang istri pun juga bekerja sebagai pegawai swasta di salah perusahaan. Jadi bisa dikatakan, awalnya kehidupan Benny sangat nyaman dan berkecukupan.
Tapi siapa sangka, menginjak usia 1,5 tahun putri kecilnya pada April lalu, ia terseok-seok memenuhi kebutuhan keluarga. Banyak murid yang menghentikan lesnya. Permintaan tampil di berbagai acara juga sudah tak ada lagi, karena pembatasan sosial imbas Covid-19. Perusahaan sang istri juga terdampak, sehingga pendapatan jauh berkurang. Melihat kondisi itu, Benny memutar otak agar kehidupan dia dan keluarga tetap berjalan.
“Sempat berpikir, ini bisa nggak ya buat menghidupi anak istri saya. Anak mau 1,5 tahun, sudah ditagih dept collector juga karena kami ada cicilan mobil. Ditelpon tiap hari stres juga,” ujarnya.
Hingga akhirnya, ia menemukan daun kelor sebagai salah satu jalan untuknya untuk kembali bangkit. Usaha teh daun kelor itu ia beri nama CHE Teh.
“Hidup harus terus berjalan, apalagi ada orang-orang yang kita sayangi di sekitar kita. Saya sebagai orang tua, sebagai suami. Waktu masih single, saya bisa Rp100 ribu untuk hidup seminggu. Tapi kan ada orang-orang baik, orang-orang yang kita sayangi yang nggak boleh merasakan penderitaan ini,” paparnya.
“Saya harus fight, saya harus bangkit,” tegas Benny dengan penuh semangat.
Sebelum berjualan teh daun kelor, Benny sempat mencoba bidang lain. Bukan tanpa tantangan, beberapa usahanya sebelumnya sempat gagal. Sebelum pandemi, Benny sempat berbisnis depot. Ia pun membuat sendiri sambalnya. Ia juga sempat berpikir untuk kembali menggeluti bisnis tersebut. Namun karena tantangan di bahan baku, akhirnya ia mengurungkan.
“Awalnya jualan sambal. Tapi kompetitornya banyak, harga bawang saat itu juga tinggi. Saya berfikir ‘waduh ya nggak nututi ini,” ungkapnya.
Lalu, ia pun membuka jalan lain dengan mencoba berjualan minuman kesehatan berbahan Jahe. Resepnya pun dari resep keluarga yang turun-temurun. Lalu ia pun membagikannya ke teman-teman terdekat. Beberapa di antaranya beli minuman tersebut. Namun ia merasa, produk minuman jahe itu kurang mendapat respon yang bagus. Apalagi minuman cair punya keterbatasan di daya tahan produk.
“Niat hati pengen share, resep campuran dari keluarga. Karena cair, jadi nggak bisa lama tahannya. Apalagi kalau masuk kulkas, 3 hari udah tidak enak. Gagal juga,” tambahnya. Namun ia tak berhenti. Benny terus melanjutkan ide bisnis baru.
Hingga, ia mampir di sebuah warung pecel. Di sana, pemilik warung menjual kemasan teh daun kelor. Benny lalu membeli dengan harga Rp30 ribu karena memang menurutnya, teh daun kelor bermanfaat untuk kesehatan terutama untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Saat mencicipi, awalnya ia kurang suka dengan bau langu yang ada di minuman tersebut. Namun produk tersebut cukup menginspirasi dan menyulut semangatnya untuk kembali berbinis.
“Singkat cerita, saya telepon kakak saya di Sumba, sharing dengan kondisi saya sekarang dan menyinggung daun kelor. Dia bilang ‘di sini daun kelor cuma jadi pagar’. Lalu saya minta dikirimi 5 kg, dia balas kamu minta 20 kg pun saya kirim hari ini,” cerita Benny.
Daun kelor kering asli Sumba sebanyak 5 kg itu sampai juga di rumah Hosea. Namun saat bahan baku itu datang, ia kebingungan untuk mengolah daun-daun agar biasa dijual. Jika dijual dalam bentuk daun, ia merasa tidak praktis. Akhirnya munculah ide untuk mengolahnya dalam bentuk tea pack.
“Saya iseng-iseng blender sendiri, kok nggak muter. Masak dikasih air, nanti ngeringin lagi dong. Gimana ya caranya. Akhirnya saya seperti dapat hikmah, saya pegang blendernya, saya goyang-goyah, eh rontok semua. Wah berhasil,” kata Benny saat menceritakan eksperimennya.
Untuk mengurangi bau langu yang ada di daun kelor, ia menambahkan kombinasi Kayu Manis. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata ada beberapa orang yang malah meminta agar bau khas kelor tetap ada. Akhirnya ia menyediakan satu varian original. Yang terbaru, ia kemudian menambahkan varian jahe untuk mereka yang suka kombinasi teh dengan jahe.
Untuk harga, ia membandrol Rp25 ribu per pack untuk varian original dan kombinasi kayu manis, dan Rp30 ribu/pack untuk kombinasi jahe. Setiap pack berisi 20 kantong teh yang cara penyajiannya seperti teh celup, yakni tinggal diseduh dengan air.
Siapa sangka, produk teh yang ia namakan CHE teh, yang diambil dari nama putrinya Chelsea ini, mendapat respon yang baik oleh masyarakat. Selama bulan Mei, awalnya ia hanya mampu menjual 16 pack. Lalu Benny berusaha untuk menjualnya via online. Seiring berjalannya waktu, Benny akhirnya ia bisa menjual sebanyak 350an pack di bulan Juni, dan 400an pack di bulan Juli.
Meski keuntungan dari CHE Teh ini belum bisa menyamai pendapatannya seperti sebelum pandemi, namun ia sangat bersyukur karena ini dapat menambal kebutuhan sehari-hari.
Sebuah usaha tentu tidak semulus apa yang dibayangkan orang-orang. Begitu juga CHE Teh yang ia rintis pastinya pernah mendapat komentar miring dari orang lain. Ia melihat, masih banyak orang yang menganggap daun kelor ini disangkut pautkan dengan hal-hal mistis, sehingga mereka tidak berani untuk membeli.
“Tantangannya lebih ke stereotype. Ini daun mistis. Apalagi tante saya sendiri, saya tawari bilangnya ‘ndak berani aku, aku punya susuk nanti lugur semua’. Kadang saya dijuluki ‘eh juragan kolor’ kolor ya bukan kelor,” tambahnya sembari tertawa.
Padahal, lanjutnya, sudah banyak ahli yang mengatakan daun kelor memiliki manfaat yang melimpah, terutama bagi daya tahan tubuh.
Menurutnya, daun kelor sempat disebut ajaib oleh WHO karena mengandung berbagai nutrisi serta vitamin A, B, C, dan E.
Untuk itu, ia ingin menyadarkan masyarakat bahwa daun kelor memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Tidak hanya dikonsumsi selama Covid-19, tetapi juga bisa dikonsumsi secara rutin sebagai minuman herbal meski pandemi berakhir.
Tidak hanya berjualan, ia juga tak jarang memberikan bibit daun kelor untuk pembelinya. Ia berharap, suatu saat nanti para pembelinya dapat menanam sendiri daun kelor secara mandiri.
“Sekarang yang beli di saya, saya kasih 2-3 bijinya biar bisa ditanam. Kecil-kecil gitu. Saya ingin masyarakat sehat semua nutrisi juga mencukupi. Biji itu harapannya tidak hanya membeli produk saya, kalau sudah tumbuh dimasak jadi varian lain,” tambahnya.
Selanjutnya, ia ingin membuka sistem reseller dan dropshipper bagi masyarakat yang ingin bergabung dalam bisnisnya. Karena ia merasa, masih ada sedikit keuntungan yang bisa dia bagikan ke masyarakat yang terdampak Covid-19.
“Pengennya produk ini selain bermanfaat dari segi kesehatan, tapi juga mengajak teman-teman yang terlibat, saya punya space keuntungan cukup besar. Bisa ngasih 20-40 persen untuk dropshipper dan reseller,” tambahnya.(tin/lim)