Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) akan menggelar forum diskusi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan pemangku kebijakan di wilayah kerja SKK Migas Perwakilan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jabanusa).
Forum diskusi yang akan digelar Kamis (31/1/3019) ini bertujuan untuk membahas, menyamakan persepsi dan mengelola bersama Tanggung Jawab Sosial (TJS/ Corporate Social Responsibilities (CSR)) dari industri hulu migas di Jabanusa.
Rangga Dinasti Kepala Divisi Formalitas SKK Migas menjelaskan, SKK Migas dalam melaksanakan TJS atau CSR mengacu pada standar internasional ISO 26000, yang diterapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.
“Tujuan pelaksanaan TJS ini fokus pada pengelolaan dampak atas keputusan organisasi (SKK Migas/KKKS). Ada tiga dampak yang kami kelola, baik dampak sosial, dampak lingkungan, dan dampak ekonomi,” ujarnya.
Menurutnya, ada dua objek pelaksanaan TJS industri hulu migas yang dikelola KKKS dan diawasi SKK Migas. Baik internal seperti karyawan, maupun eksternal kepada Pemda, Media, LSM, juga masyarakat.
Rangga menegaskan, SKK Migas saat ini memfokuskan CSR pada pemberdayaan masyarakat seperti misalnya loka karya bagi masyarakat agar bisa melakukan budidaya jamur.
“Kami tidak lagi melakukan TJS dengan cara lama. Hanya dengan cara pembudidayaan ini kami bisa memastikan masyarakat di sekitar wilayah kerja hulu migas dapat mandiri,” ujarnya.
Masalahnya ada pada CSR yang dialokasikan untuk pemerintah daerah di wilayah kerja hulu migas yang mengakibatkan masyarakat menjadi salah persepsi mengenai CSR.
Wisnu Prabowo Taher Kadiv Program dan Komunikasi (Prokom) SKK Migas menegaskan, pengawalan alokasi CSR yang diserahkan kepada pemerintah ini memang menjadi PR (pekerjaan rumah).
“Sebenarnya, sumbangsih utama hulu migas secara kontrak bagi hasil yang diatur pemerintah, secara umum valuenya paling besar. Pengelolaannya kami serahkan ke Kementerian Keuangan. Kami sebetulnya sampai di situ saja, tapi kami bisa melakukan program TJS,” ujarnya.
TJS itu, kata Wisnu, berfungsi untuk melengkapi apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat di wilayah kerja hulu migas. Bagaimana pengelolaan TJS itu, ada pada pemda masing-masing.
Ada sejumlah pertanyaan dalam media gathering yang digelar SKK Migas Jabanusa menjelang forum diskusi soal TJS dengan para pemangku kebijakan. Salah satunya, mengapa angka kemiskinan masih belum terentaskan di wilayah kerja hulu migas meski CSR sudah disalurkan.
Wisnu menegaskan, TJS dari usaha hulu migas bukan untuk mengentaskan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan adalah tugas pemerintah. Menurutnya, Industri hulu migas hanya membantu dengan melengkapi anggaran bagi hasil di pemerintah pusat.
“Kalau mengacu Undang-Undang 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, CSR atau TJS ini dilakukan perusahaan untuk meningkatkan hubungan baik dengan penduduk setempat, itu saja. Bukan untuk mengentas kemiskinan,” katanya.
Soal besaran nilai, yang mana sebagian pihak, termasuk wacana RUU tentang CSR oleh DPR RI dengan besaran yang ditentukan 2,5 persen dari keuntungan, Wisnu menegaskan, aturan ini sudah jelas di UU 40/2007.
“Di pasal 74 disebutkan, nilai TJS ini dianggarkan berdasarkan prinsip kepatutan dan kewajaran. Nah, sekarang, pemda sedang gemar membuat perda CSR. Ada daerah yang memasukkan ini (CSR) jadi tambahan pendapatan di APBD,” ujarnya.
Atas dasar itulah, forum diskusi ini digelar untuk menyamakan persepsi, menyesuaikan kebutuhan setiap daerah berdasarkan kepatutan dan kewajaran dengan jalan musyawarah mufakat.
“Besok kami menggelar forum ini, ada 16 kepala daerah, Kapolres, dan Dandim (Komandan Kodim) di wilayah kerja SKK Migas Jabanusa yang kami undang, untuk mendiskusikan ini,” ujarnya. (den/wil/dwi)