One Pesantren One Product (OPOP) Training Center, pusat pelatihan hasil kerja sama Pemprov Jatim dengan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), sudah menyiapkan captive market untuk produk pesantren di Jatim.
Ada 30 pondok pesantren di Jatim yang jadi proyek percontohan (pilot project) program OPOP, program prioritas Pemprov Jatim di bawah kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim.
Profesor Mohammad Nuh Koordinator OPOP Training Center mengatakan, pusat pelatihan itu akan mendampingi 30 pesantren yang sudah punya embrio produk di berbagai bidang. Baik fashion, makanan, bahan olahan, juga software, dan startup.
OPOP Traning Center, kata Nuh, akan mengelompokkan pesantren berdasarkan produk yang saling berkaitan, lalu memberi mereka pelatihan dan pendampingan kepada sesuai hasil pemetaan yang sudah dilakukan sebelumnya.
“Karena, kan, teknik pengembangannya enggak bisa dipukul rata,” kata Mantan Menteri Pendidikan yang akrab disapa M Nuh saat peresmian OPOP Training Center, Kamis (22/8/2019).
Dia mengatakan, OPOP Training Center sudah menyiapkan captive market potensial untuk melempar produk-produk unggulan pesantren yang tersebar di jaringan market perusahaan ternama di Indonesia.
“Nanti, yang dikembangkan di sini bukan hanya produk tangible atau tampak wujudnya saja, lho. Tapi juga produk-produk non tangible seperti sotfware dan lain-lain,” ujarnya.
Saat meresmikan OPOP Training Center di Unusa, kemarin, Khofifah Gubernur Jatim menjelaskan, pusat pelatihan itu akan mendukung pesantren dalam hal research and development (riset dan pengembangan/RnD).
Terutama untuk mengembangkan kualitas produk unggulan pondok pesantren beserta jejaring pemasarannya supaya skala pasarnya menjadi lebih luas. Menurutnya, ini akan mewujudkan cita-cita para pendiri NU.
Pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren, kata Khofifah, adalah gagasan KH Hasyim Asy’ary dan KH Wahab Hasbullah sejak sebelum NU berdiri. Nama Nahdlotut Tujjar (kebangkitan pedagang) lebih dulu dikenalkan sebelum Nahdlatul Ulama.
“Saat saya ketemu Pak Hermawan Kartajaya puasa lalu, saya diskusi dengan beliau soal ini. Saya kaget, awal Agustus lalu ternyata sudah jadi ekosistemnya, contoh produknya, tempatnya, bahkan bukunya. Insya Allah mimpi ini bisa jadi kenyataan,” katanya.
Ada tiga pilar program OPOP menurut Khofifah. Pertama, program ini membangkitkan santripreneur supaya siswa Aliyah, SMA, SMK, mahasiswa dan santri lain di lingkungan pesantren menciptakan wirausaha baru.
Kedua, pesantrenpreneur. Pilar ini untuk meningkatkan kualitas dan pemasaran produk melalui penguatan koperasi pesantren. Terakhir, sociopreneur, yakni menumbuhkan wirausaha baru alumni pesantren yang melibatkan masyarakat.
“Saya melihat potensi pesantren luar biasa. Ada 6 ribu lebih pesantren di Jatim. Sidogiri (Pasuruan) bahkan sudah punya jejaring retail dan perbankan syariah. Di pesantren lain bahkan sudah ada produk animasi, film, dan digital IT lainnya,” katanya.
Pendampingan khusus, menurut Khofifah, perlu ada untuk produk pertanian dan handicraft. Tetang kontrol kualitas dan kuantitas berkesinambungan supaya dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar.
Sebenarnya, kata dia, sejumlah produk pesantren yang punya kemiripan bila digabungkan jumlahnya cukup besar untuk memenuhi pasar e-commerce seperti Bukalapak maupun Alibaba.
“Cuma, banyak dari mereka tidak dapat pendampingan komprehensif. Mulai desain produk, kualitas produk, dan jejaring pasarnya. Inilah pentingnya OPOP sebagai RnD,” kata Khofifah.
OPOP Training Center akan memberikan dukungan riset dan pengembangan yang menurut Khofifah, biasanya berbiaya mahal, terhadap para pelaku usaha di lingkungan pondok pesantren di Jatim.
Karena itulah, OPOP Traning Center harus berada di lingkungan Perguruan Tinggi yang memang punya lembaga riset dan pengembangan. Khofifah mengapresiasi Unusa yang merespons peluang ini dengan sangat cepat.
Pada peresmian OPOP Training Center kemarin, hadir sejumlah pendukung jalannya program ini. Beberapa di antaranya Hermawan Kartajaya International Council for Small Business Indonesia, juga Ahmed Osman President ICSB and COD of Chrome Cairo dan Profesor Ki Chan Kim mantan Presiden ICSB Global.(den/iss/ipg)