Prof Suwarno Pakar Kedokteran Hewan Unair mengatakan, pengembangan peternakan berbasis kelompok atau koperasi pada ternak sapi merupakan salah satu solusi mengurangi Impor Daging di Indonesia.
Masih banyaknya peternakan yang berbasis perorangan, lanjutnya, menjadi salah satu penyebab belum mampunya Indonesia mencapai swasembada daging sapi.
“Oleh karenanya, beberapa alumni dari Unair, juga sudah mulai mengembangkan peternakan sapi yang berbasis kelompok atau koperasi. Hasilnya bisa sangat melimpah, dengan keuntungan yang cukup besar dan singkat,” ujarnya ketika ditemui usai menjadi pembicara Diskusi Pakar di Kampus Unair, Surabaya pada Selasa (23/4/2019).
Ia menyebut, saat ini Indonesia masih melakukan impor daging dari beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, India, dan beberapa negara di Eropa. Sedangkan, untuk sapi Bakalan atau sapi Indukan, Indonesia masih mengimpor dari Australia dan Selandia Baru.
Terkait impor daging, ia juga mengingatkan bahwa ada resiko penyakit ternak yang harus diwaspadai oleh Indonesia untuk menjaga ketahanan dan keamanan pangan nasional. Pasalnya, beberapa negara pengimpor daging seperti Amerika Serikat dan India pernah terserang wabah penyakit Sapi gila (BSE) dan penyakit Mulut dan Kuku (FMD).
Selain pengembangan ternak sapi berbasis kelompok atau koperasi, Indonesia juga perlu melakukan penambahan populasi melalui impor sapi indukan, dan juga pengembangan sapi ras baru.
Sapi ras baru ini sudah mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2016 dengan mengawinsilangkan antara Sapi Belgian Blue dengan sapi lokal. Sapi ras baru ini dikatakannya dapat menghasilkan daging yang lebih banyak dengan harga yang lebih mahal.
Ia berharap, swasembada daging sapi bisa benar-benar terwujud pada tahun 2026 dengan tetap mempertahankan swasembada daging ayam yang telah tercapai. Pasalnya, sektor peternakan ini menjadi salah satu penentu ketahanan pangan yang berkaitan dengan kemajuan sebuah bangsa. (bas/tin/dwi)