Penanaman modal non fasilitas yang berasal dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jawa Timur mengalami peningkatan 0,21 persen dibandingkan 2017. Peningkatan ini tercatat sebagai peningkatan investasi tertinggi selama delapan tahun terakhir.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Provinsi Jawa Timur mencatat, jumlah penanaman modal nonfasilitas di Jawa Timur pada 2018 mencapai Rp104,45 triliun, sementara pada 2017 hanya Rp85,86 triliun.
Dari total penanaman modal di Jawa Timur, sektor nonfasilitas ini mendominasi total penanaman modal yang masuk ke Jawa Timur mencapai 67,10 persen dari total investasi 2018 Rp155,65 triliun.
Soekarwo Gubernur Jawa Timur, dalam Rapat Paripurna pengesahan Perda Penanaman Modal di DPRD Jawa Timur, Senin (11/2/2019) kemarin, menyatakan fakta ini.
Dia menyebutkan, penanaman modal di Jawa Timur berangkat dari penanaman modal nonfasilitas, yakni perputaran modal UMKM dan IKM di Jawa Timur, yang mencapai 65-70 persen dari keseluruhan investasi di Jawa Timur.
Sebab itulah, Pemprov Jatim bersama DPRD Provinsi Jatim menyepakati Perda Penanaman Modal yang diharapkan mampu menumbuhkan iklim positif investasi di Jawa Timur.
Aris Mukiyono Kepala DPM-PTSP Jawa Timur mengatakan, ada problem yang menjadi perhatian Pemprov Jatim mengenai dunia investasi di Jawa Timur yang perlu segera diatasi.
“Penanaman modal nonfasilitas dari UMKM dan IKM ini tidak terekam di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Yang terekam hanya yang Rp500 juta ke atas. Maka kami usulkan ke BKPM, yang Rp100 juta pengembangan, yang Rp50 juta itu harus ada,” katanya.
Aris menjelaskan, struktur makro ekonomi Jawa Timur menunjukkan, UMKM dan IKM menjadi penyumbang terbesar perekonomian mencapai 52,52 persen dari total Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
Perda Penanaman Modal yang disahkan kemarin, kata Aris, tetap akan memfasilitasi perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanam Modal Asing (PMA).
“Sebagaimana diharapkan Pak Gubernur juga DPRD, Perda ini tetap memberikan fasilitasi penanam modal, tetapi harfiahnya, harus mengembangkan atau menggandeng UMKM di Jawa Timur,” katanya.
Melalui Perda ini, investor yang menanamkan modalnya terutama dalam perusahaan padat karya bisa link and match dengan UMKM di Jawa Timur.
Terutama bagi perusahaan PMA yang rata-rata hanya 14 persen dari keseluruhan investasi di Jatim. Sesuai pasal-pasal di Perda tersebut, para investor itu diarahkan untuk menggandeng dan mengembangkan UMKM dan IKM di Jatim.
“Bisa jadi, misalkan, raw material-nya, barang setengah jadinya dari UMKM, barang jadinya dari industrinya dia (investor), misalkan seperti itu. Seperti di Pasuruan, misalnya, mur dan baut dari UMKM, finalisasinya oleh perusahaan besar,” katanya.
Dengan adanya Perda tersebut, Pemprov Jatim berharap UMKM dan IKM tidak sampai menguasai produksi dari hulu sampai hilir. Hal ini, kata Aris, nanti malah menjadi masalah.
DPM-PTSP Jatim, sebagai langkah awal mendukung skema baru investasi di Jawa Timur ini akan terus berkoordinasi dengan BKPM agar merekam investasi nonfasilitas.
Dia mengatakan, mindset dan formula yang menyebabkan tidak terekamnya investasi nonfasilitas di bawah Rp500 juta ini harus diubah. Dia mencontohkan, bagaimana bisa pembangunan properti di Jawa Timur yang nilainya memang di bawah itu tidak terekam.
“Padahal itu kan juga investasi. Masak tidak terekam? Mungkin untuk UMKM dan IKM ini, jangkauannya kan banyak, mereka melihat yang gede (besar) saja,” katanya.(den/tin)