Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya oleh kalangan swasta di Tanah Air masih minim karena terganjal regulasi dan lamanya pengembalian modal.
Amalyos, Asisten Deputi Bidang Sumber Daya Mineral Energi dan Non Konvensional Kementerian Koordinator Kemaritiman, Selasa (23/4/2019), mengatakan kondisi ini sejalan dengan masih sedikitnya pengembangan Energi Baru Terbarukan yang hingga kini terbaur 9,0 persen dari total target 23 persen pada 2025.
“Diakui untuk mencapai target ini berat, kami menyadari harus ada keterlibatan swasta, tapi diakui ada masalah dengan regulasi,” kata Asdev yang dijumpai di kawasan PLTS Jakabaring Palembang.
Ia memaparkan sejauh ini minat kalangan swasta untuk merambah bidang ini tergolong tinggi karena Indonesia memiliki potensi sinar matahari yang sangat baik.
Akan tetapi, perusahaan swasta kerap direpotkan oleh sejumlah perizinan yang harus dipenuhi sesuai persyaratan yang ditetapkan pemerintah provinsi selaku pemberi izin.
Kemudian, dalam amanat UU juga mengharuskan energi yang dihasilkan tersebut harus dibeli oleh PT PLN, yang artinya harus ada negosiasi harga jual.
Terkadang, persoalan muncul karena harga yang dikehendaki PLN sebagai badan usaha milik negara tidak sesuai dengan biaya modal yang sudah dikeluarkan.
Oleh karena itu, pembangunan PLTS sejauh ini di Indonesia masih bersifat bisnis to bisnis dan government to government seperti yang terjadi di PLTS Jakabaring berkapasitas 3 MW.
Ke depan, Asdev mengatakan jika harus melibatkan sektor swasta harus ditemukan titik keseimbangan sehingga kalangan swasta menilai bisnis pembangkitan tenaga surya ini cukup menguntungkan.
“Saya yakin titik keseimbangan antara modal yang dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh akan tercapai, apalagi sudah jadi amanat UU harus 23 persen pada 2025,” kata dia kepada Antara.
Amalyos menjelaskan sebetulnya biaya investasi PLTS tergolong lebih murah jika dibandingkan dengan pembangkit sumber EBT lainnya.
Investasi PLTS masih di bawah 2.000 dolar AS per kwh pada 2017 sementara tertinggi adalah investasi untuk pembangkit dari panas bumi yang nyaris menyentuh 3.000 dolar per kwh berdasarkan data International Renewable Energy Agency.
Sementara itu, Arief Kadarsyah Direkrut Utama PDPDE mengatakan meski PLTS ini masih sulit secara bisnis namun kebijakan pemerintah daerah membuat PDPDE selaku BUMD harus mau merambahnya.
PDPDE berencana membangun PLTS di Bangka Belitung dengan kapasitas 10 MW dan di Bali karena telah percaya diri setelah berhasil membangun PLTS Jakabaring ada 2018.
“Nilai investasinya masih dihitung karena kami masih negosiasi, tetapi yang jelas bakal lebih murah dibanding PLTS Jakabaring,” kata dia.
Total investasi PLTS Jakabaring berkapasitas 2 megawatt (MW) itu mencapai 2,9 juta dolar AS yang sekitar 900.000 dolar di antaranya berasal dari bantuan Pemerintah Jepang. Selebihnya merupakan investasi PDPDE.
Nantinya, kata dia, pihaknya akan menggandeng investor lain untuk membangun PLTS di Bangka. Arief mengklaim sudah banyak pihak ketiga yang tertarik bekerjasama dengan perusahaan daerah tersebut.
Arief memaparkan pihaknya cenderung memilih provinsi tetangga karena untuk pihaknya menilai pengembangan pembangkit di Sumsel sudah cukup banyak, sehingga perusahaan mencari daerah lain yang potensial untuk digarap.
Bahkan, kata dia, pihaknya sudah membidik Bali sebagai daerah ketiga untuk ekspansi usaha di bidang pengembangan EBT tersebut.
“Kami cukup percaya diri di bidang ini karena kami punya pengalaman mengelola PLTS Jakabaring yang hingga kini beroperasional secara optimal,” ujar dia.(ant/iss/ipg)