Harga minyak mengakhiri perdagangan bergejolak pada Rabu (Kamis pagi WIB) dengan naik sekitar dua persen, didukung oleh sedikit pemulihan di Wall Street, meskipun masih ada kekhawatiran tentang melemahnya pertumbuhan ekonomi global yang dapat mengganggu permintaan minyak.
Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari, naik 1,13 dolar AS atau 2,5 persen menjadi menetap pada 46,54 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, setelah mencapai terendah sesi di 44,35 dolar AS dan tertinggi di 47,78 dolar AS.
Sementara itu, patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman Maret, naik 1,11 dolar AS atau 2,1 persen menjadi ditutup pada 54,91 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, setelah diperdagangkan antara 52,51 dolar AS dan 56,56 dolar AS.
Minyak berjangka didukung oleh pasar ekuitas AS karena indeks-indeks saham utama memangkas kerugian sebelumnya. Minyak mentah berjangka baru-baru ini mengikuti pergerakan saham di Wall Street, yang pada 2018 mencatat tahun terburuk dalam satu dekade.
Namun, data manufaktur dari China sebelumnya menambah kekhawatiran yang sedang berlangsung tentang perlambatan ekonomi global dan peningkatan produksi dari negara-negara seperti Rusia.
Aktivitas pabrik China mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun pada Desember, menyoroti tantangan yang dihadapi Beijing ketika berusaha mengakhiri perang dagang dengan Washington.
“Kami masih melihat beberapa kelesuan dalam ekonomi China sebagai pertimbangan bearish yang signifikan mengingat fakta bahwa mereka telah menjadi importir minyak mentah terbesar di dunia,” Kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates seperti dikutip Antara dari Reuters, Kamis (3/1/2019).
Data manufaktur zona euro juga terbukti mengecewakan karena aktivitas hampir tidak berkembang pada akhir 2018, menurut sebuah survei.
Kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi dan kelebihan pasokan menyeret harga minyak dari tingkat tertinggi multi-tahun yang dicapai pada Oktober 2018. Minyak mentah berjangka mengakhiri 2018 turun untuk tahun pertama kali sejak 2015, dengan WTI merosot 25 persen dan Brent jatuh 21 persen. (ant/dim/ipg)