Dradjad Hari Wibowo Ekonom dari Sustainable Development Indonesia (SDI) mengatakan, masyarakat sering rancu antara utang pemerintah dengan utang negara. Kalau utang negara, itu adalah jumlah utang pemerintah ditambah utang korporasi (termasuk BUMN).
Menurut Dradjad, dengan utang pemerintah sekarang yaitu Rp 4.034,8 triliun dan jumlah penduduk 2017, diestimasikan sebanyak 261.890.872 jiwa, maka utang pemerintah itu setara Rp 15,4 juta per jiwa penduduk.
“Tolok ukur yang klasik dalam ekonomi makro adalah “rasio utang pemerintah terhadap PDB”. Istilahnya public- atau government-debt ratio. Biar mudah, saya singkat GDR,” ujar Dradjad dalam pesan singkatnya kepada suarasurabaya.net, Jumat (16/3/2018).
Jika ukurannya GDR,kata dia, posisi GDR tahun 2017 itu 29,2%. Ini “sangat rendah”. Bahkan di antara G20, Indonesia adalah negara kedua yang paling rendah GDR-nya. Sedangkan yang paling rendah itu Rusia, hanya 12,6% pada tahun 2017.
“Yang paling tinggi adalah Jepang (250,4%), Italia (131,5%) dan Amerika Serikat (105,4%),” kata Dradjad.
Menurut Dradjad, GDR Indonesia juga masih jauh di bawah India (69,5%) dan China (46,2%).
Apakah aman? Kata Dradjad, ini agak lebih njlimet melihatnya. Aman itu artinya pemerintah mampu membayar utang yang jatuh tempo, baik pokok maupun bunganya. Sumbernya ada tiga, aset dan tabungan pemerintah, penerimaan pemerintah, dan utang baru.
“Di Indonesia, penerimaan pemerintah ini dalam APBN disebut penerimaan negara, baik pajak maupun bukan pajak,” jelasnya.
Dradjad menjelaskan, Jepang dan AS dengan tingkat GDR yang super tinggi itu tergolong masih aman, karena, pertama, rasio penerimaan pajak mereka terhadap PDB (rasio pajak) tinggi. Rasio pajak Jepang sekitar 36% dan AS 26%. Kedua, investor dunia memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada kedua negara ini sehingga cenderung terus membeli surat utang baru mereka.
“Padahal, bunga surat utang mereka relatif sangat rendah. Faktor kedua ini, yaitu kepercayaan, sangat lah krusial,” tegas dia.
Jadi, menurut Dradjad, GDR Jepang dan AS aman karena penerimaan pajaknya tinggi dan mereka dipercaya investor.
Sementara itu, rasio pajak Indonesia terus berkutat di level 11-12%. Ini yang terendah di G20, bahkan tergolong rendah di dunia. Padahal, pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi di dunia, lumayan memberatkan perusahaan dan orang pribadi.
Artinya, penghasilan pemerintah sendiri dalam membayar utang itu sangat rendah untuk ukuran dunia. Mau tidak mau, Indonesia harus mengandalkan investor membeli surat utang baru.
“Disitulah letak masalahnya. Tahun 2017 misalnya, realisasi penerimaan negara pajak dan bukan pajak itu Rp 1.660 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 31% habis untuk membayar pokok dan jumlah utang. Jumlah yang sangat besar,” kata Dradjad.
Yang lebih ironis, kata dia, pemerintah akan menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program andalan. Untuk tahun 2018, anggaran infrastruktur dinaikkan menjadi Rp 409 triliun.
“Kelihatannya besar kan? Tapi ternyata anggaran infrastruktur itu jauh lebih kecil dari pembayaran utang! Tahun 2017 saja, pemerintah harus membayar pokok dan bunga utang Rp 510 triliun lebih,” jelas Dradjad.
Artinya, menurut Dradjad, program andalan itu bukan infrastruktur, tapi pembayaran utang dengan anggaran Rp 100 triliun di atas infrastruktur. Jadi ada ketimpangan besar dalam alokasi anggaran.
Yang lebih serius lagi, beban pembayaran utang di atas itu adalah untuk membayar utang yang dibuat pemerintah sebelumnya. Padahal, sebelum ini GDR Indonesia hanya sekitar 23%. Dengan GDR yang makin tinggi, pemerintah sekarang memberikan beban yang lebih berat kepada pemerintah mendatang.
“Jadi jawaban saya, utang pemerintah itu aman kalau dilihat secara ekonomi makro biasa, tapi kurang aman jika dilihat dari penerimaan negara. Utang juga menjadi beban yang sangat berat jika dilihat dari alokasi APBN,” pungkas Dradjad.(faz/rst)