Sabtu, 23 November 2024

Peneliti Ingatkan Pemerintah Tidak Terjebak Kegagalan Regulasi Ekonomi Digital

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Rumayya Batubara Ekonom sekaligus Peneliti CISS Unair. Foto: Denza suarasurabaya.net

Laboratorium Pengembangan Ekonomi Pembangunan (LPEP) Universitas Airlangga Surabaya menggelar diskusi tentang Ekonomi Digital Sebagai Akselerator Pertumbuhan Daerah, Selasa (23/10/2018).

Rumayya Batubara Ekonom sekaligus Peneliti LPEP Unair memaparkan, kemunculan platform pelaku ekonomi digital di Indonesia memberikan angin segar bagi pelaku usaha.

Berbagai platform daring seperti Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, maupun Traveloka memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha menjalankan usahanya tanpa membuka toko.

“Ekonomi digital menawarkan pembaruan dan pertumbuhan ekonomi dengan menemukan supply dan demand yang tadinya tidak ketemu dan memberikan banyak kemudahan bagi para pelaku usaha,” ujarnya.

Selain tidak perlu membuka toko fisik, ekonomi digital memungkinkan pengurangan biaya produksi dan biaya transportasi, serta bagi konsumen, pengurangan biaya pencarian produk barang atau jasa yang dibutuhkan.

Data yang dia himpun dari Go-Jek, misalnya, menunjukkan kontribusi ekonomi digital yang cukup besar bagi perekonomian di Indonesia, yakni hingga mencapai Rp9,9 triliun per tahun.

Angka itu terdiri dari kontribusi langsung Rp8,2 triliun kepada mitra pengemudi dan kontribusi langsung 1,7 triliun per tahun melalui pendapat mitra UMKM Go-Jek.

Seiring perkembangan ekonomi digital, muncul reaksi kontra. Penolakan besar-besaran oleh sopir taksi konvensional terjadi. Pemerintah pun melakukan intervensi dengan menyusun regulasi.

Rumayya mengingatkan, pemerintah tidak lagi terjebak pada kegagalan pemerintah (government failure). Dia mencontohkan kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Kebijakan itu ditujukan untuk mensejahterakan rakyat. Tapi yang terjadi, harga BBM murah, masyarakat jadi boros. Beli mobil baru, motor baru. Biaya subsidi makin banyak. Sekian triliun cuma jadi asap,” ujarnya.

Padahal, kata dia, ada sektor yang lebih penting mendapatkan alokasi anggaran lebih banyak, seperti pendidikan yang menurutnya menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi.

Berkaitan ekonomi digital, menurutnya, Pemerintah Amerika pernah mengalami kegagalan. Saat financial technology (Fintech) berkembang, regulasi pemerintah ruwet dan tidak seragam.

“Akibatnya Fintech di Amerika ketinggalan dengan Eropa, karena di Eropa justru banyak insentif yang diberikan pemerintah bagi masyarakat yang ingin mendirikan usaha,” katanya.

Mengutip pendapat ahli ekonomi dunia seperti Bretshneider, Joseph E. Stiglitz, dan Rasmusen, Rumayya mengatakan, ada fenomena di mana pemerintah seringkali justru menghambat keberhasilan inovasi dan pengembangan ekonomi.

Rasmusen menyusun tiga pertanyaan sebagai panduan perumusan suatu kebijakan yang harus diperhatikan Pemerintah untuk mengurangi risiko government failure.

“Pertama, apakah hal yang diatur merupakan kegagalan pasar. Kalau memang iya, berarti hal itu memang perlu diatur,” ujarnya.

Pertanyaan kedua, apakah ada regulasi yang pas untuk mengatasi masalah kegagalan pasar itu? Kalau tidak ada, kata Rumayya, justru akan lebih baik dibiarkan saja.

“Ketiga, yang paling penting. Pemerintah perlu bertanya, apa akan terjadi kegagalan pemerintah bila peraturan itu diterapkan? Jadi pemerintah perlu melakukan kajian,” ujarnya.

Dia menyarankan, akan lebih baik bila pemerintah mengeluarkan kajian di awal dengan pendekatan partisipatoris atau pendekatan eksperimental daripada kebijakan itu gagal.

Penerapan kebijakan, kata dia, pasti akan membutuhkan biaya tidak sedikit. Ada alokasi untuk penerapannya di lapangan juga untuk pengawasan penerapan kebijakan itu.

“Kan, lebih baik mengeluarkan banyak biaya di awal untuk kajian mendalam daripada mengeluarkan biaya besar untuk pengawasan penerapan kebijakan,” katanya.

Dia mengatakan, semangat pemerintah dalam menyusun peraturan terkesan memaksakan. Padahal, ada negara-negara lain yang berhasil berkolaborasi dengan ekonomi digital.

Dia mencontohkan, Pemerintah Filipina yang menggandeng pelaku ekonomi digital dalam sebuah MoU sharing data pengguna untuk mengembangkan transportasi massal yang lebih baik.

Aturan sharing data berupa dashboard yang termuat di dalam Permenhub, misalnya, menurutnya bersifat memaksakan.

“Kesannya memaksa, semua data kalau bisa dikuasai,” katanya.

Menurutnya, banyak peluang kolaborasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah dengan pelaku ekonomi digital untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat.

“Di Banyuwangi sudah dilakukan. Ada Gancang Aron, di mana Pemkab bekerja sama dengan Go-Jek untuk membantu masyarakat membeli obat dan bisa diantar ke rumah,” ujarnya. (den/nin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
34o
Kurs