Pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) final untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang beromzet di bawah Rp4,8 miliar pertahun termasuk koperasi menjadi tinggal 0,5 persen atas omzet segera diberlakukan.
Yuana Sutyowati Barnas Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM di Jakarta mengatakan, pajak final UMKM ditetapkan sebesar 0,5 persen dari jumlah atau nilai peredaran bruto selama satu tahun sampai dengan nilai peredaran bruto Rp4,8 miliar.
“Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)-nya sudah sampai pada tahap akhir. Jadi dari berbagai rapat harmonisasi yang diikuti oleh beberapa instansi seperti Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Ditjen Pajak, Kementerian Koperasi dan UKM serta Asosiasi UMKM, tarif PPh final baru yang dinyatakan dalam RPP adalah sebesar 0,5 persen,” katanya, Sabtu (2/6/2018).
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM RI (Kemenkop dan UKM) melalui surat Menteri Koperasi dan UKM RI pada 2017 mengusulkan agar tarif PPh final melalui PP nomor 46 tahun 2013 yang dinilai masih memberatkan dapat diturunkan menjadi 0,25 persen.
Revisi tersebut telah disepakati dan tinggal menunggu tanda tangan Presiden sehingga kemungkinan dapat diberlakukan dalam waktu dekat.
“Nantinya akan ada perubahan signifikan dalam aturan tersebut, di antaranya penurunan tarif PPh final dari 1 persen menjadi 0,5 persen atas omzet. Kedua, penerapan PPh final berbatas waktu,” katanya dilansir Antara.
Yuana menyatakan, pada RPP itu juga disebutkan ada kebijakan batas waktu (sunset clause) bagi wajib pajak (WP) yang menggunakan tarif final ini, yakni empat (4) tahun untuk WP badan tertentu (koperasi, CV, dan firma), tiga (3) tahun untuk WP Badan Perseroan Terbatas (PT), dan tujuh (7) tahun untuk WP perorangan.
Melalui kebijakan sunset clause atau batas waktu pengenaan pajak, Kementerian Koperasi dan UKM mendorong para pelaku UMKM untuk semakin tertib pembukuan dan mengedukasi diri untuk tertib menyusun laporan keuangan.
“Jadi, setelah batas waktu tiba, WP dapat melaksanakan pembukuan dan menyelenggarakan kewajiban sesuai rezim umum atau pajak normal sesuai UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, mengacu pada Pasal 17,” katanya.
RPP tersebut juga memberikan keleluasaan bagi UMKM yang merugi untuk menggunakan mekanisme pajak normal dengan melaporkan laporan keuangan pada saat pelaporan SPT Tahunan (mekanisme kompensasi kerugian selama 5 tahun).
Namun, untuk tahun-tahun selanjutnya UMKM yang bersangkutan harus konsisten menggunakan tarif pajak normal.
Yuana tak menampik bahwa adanya sunset clause akan menuai berbagai tanggapan, terutama dari pelaku UMKM.
Namun, ia menilai, kebijakan sunset clause sebagai sarana pembelajaran bagi WP OP maupun WP Badan, agar secara bertahap dapat melaksanakan pembukuan secara tertib.
Sebab, pembukuan dan pencatatan keuangan dalam proses bisnis merupakan keharusan sebagai bagian manajemen keuangan, antara lain dapat dipergunakan sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan pinjaman ke bank.
“Ini semangatnya positif. Dalam arti, diberi waktu dan pada akhirnya UMKM secara bertahap diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan pencatatan keuangan sesuai standar akuntansi. Sistem pembukuan merupakan salah satu needsuntuk peningkatan kinerja UMKM.”
Di sisi lain, Yuana menyatakan bahwa dengan diberlakukannya sunset clause diharapkan pemerintah dapat mendukung melalui pelatihan dan pendampingan UMKM dalam penyusunan laporan keuangan, serta advokasi dan pemahaman kewajiban membayar pajak.
“Batas waktu (sunset clause) memberikan kebebasan UMKM untuk memilih sistem pajak final atau normal. Selama masa sunset clause, pemerintah secara paralel juga selayaknya melaksanakan pelatihan dan pendampingan dengan dukungan APBN dan APBD. Program tersebut diharapkan dapat meningkatkan kontribusi pembayaran pajak dari UMKM.”
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2016 jumlah UMKM di Indonesia mencapai 59,7 juta yang didominasi oleh pelaku usaha mikro.
Maka dari itu, Yuana mengharapkan peningkatan sinergi antarinstansi terkait di tingkat pusat maupun daerah untuk peningkatan kapasitas SDM UMKM di bidang administrasi dan pembukuan, serta kesadaran untuk membayar pajak.
Pihaknya melalui Deputi Bidang SDM sejak Oktober 2017 telah melaksanakan pelatihan UMKM terkait aplikasi Laporan Keuangan Usaha Mikro (Lamikro), dengan dukungan APBN.
Aplikasi tersebut merupakan laporan akuntansi sederhana secara on-line khusus untuk usaha mikro. Lamikro memungkinkan pengguna dapat membuat laporan keuangan dengan lebih cepat dan efisien, serta menjadi sarana yang efektif jika dibandingkan pencatatan manual.
Tak hanya itu, masih melalui pihaknya juga terus melaksanakan pelatihan kewirausahaan di beberapa daerah.
“Kami berkomitmen untuk meningkatkan sinergi dengan instansi terkait dalam rangka advokasi dan peningkatan pemahaman UMKM untuk kewajiban membayar pajak. Dalam pelaksanaannya kami berkoordinasi dengan Dinas yang membidangi pembinaan Koperasi dan UMKM Prov/DI dan Kab/Kota serta Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Upaya tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kontribusi UMKM dalam penerimaan pajak nasional,” ujar Yuana. (ant/bid)