Jumat, 22 November 2024

Dua Catatan Dradjad Wibowo soal Gaduh Politik dan Pulen-nya Impor Beras

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ilustrasi. Pedagang beras di Pasar Beras Bendul Merisi Surabaya. Foto: Totok/Dok. suarasurabaya.net

Dradjad Hari Wibowo Ekonom senior INDEF mengatakan, Kamis (11/1/2018) lalu pemerintah cq Menteri Perdagangan memutuskan akan mengimpor 500 ribu ton beras. Kegaduhan politik pun muncul.

Kata dia, kegaduhan ini tidak terelakkan, apalagi kebijakan impor diambil pada musim panen, di mana Februari biasanya masuk puncak panen. Wajar jika banyak yang khawatir harga gabah bakal anjlok dan petani sangat dirugikan.

Dradjad mengaku mempunyai dua catatan terkait beras ini. Pertama, beras memang sejak dulu sudah dan selalu menjadi barang politik. Jadi, kebijakan perberasan memang berpotensi menimbulkan kegaduhan politik.

Hal ini akan terus terjadi selama rakyat masih tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan jumlah petani masih puluhan juta.

“Estimasi 2016, jumlah petani di Indonesia sekitar 37 juta, sebagian besar petani padi dari berbagai kategori. Ini adalah jumlah pemilih yang signifikan bagi Capres dan parpol manapun,” ujar Dradjad dalam pesan singkatnya, Selasa (16/1/2018).

Namun di sisi lain, kata dia, harga beras melonjak drastis. Padahal sebelumnya, elpiji sudah mahal dan sering langka, tarif listrik naik, bisnis seret, rakyat dikejar-kejar pajak.

“Jika ditambah beras mahal, bisa dibayangkan betapa babak belurnya pemerintah,” jelasnya.

Karena itu, menurut Dradjad, langkah impor menjadi pilihan dilematis, dan menjadi ranjau politik. Apalagi sebelumnya, Andi Amran Sulaiman Menteri Pertanian dengan gagah mengklaim bisa menggaungkan swasembada pangan termasuk beras.

“Koq kemudian malah impor menjelang puncak panen?” kata Dradjad mempertanyakan.

Salahnya di mana? Yang pertama, kata dia, karena asumsi dan data beras tidak sesuai dengan realitas pasar. Sejak dulu data BPS/Kementan menunjukkan “adanya” surplus beras. Sebagai contoh, estimasi produksi tahun 2016 adalah 79,14 juta ton gabah kering giling (GKG).

“Asumsikan tahun 2017 angkanya 80 juta ton agar mudah. Kita pakai konversi GKG ke beras 62,74% dan konsumsi per kapita 98 kg/kapita/tahun. Keduanya adalah data BPS. Hitungan jumlah penduduk 2017 adalah 261.755.243,” kata Dradjad.

“Hasilnya, kita dapatkan estimasi produksi beras minimal 50,2 juta ton, sementara konsumsinya sekitar 25,7 juta ton. Artinya, produksi hampir dua kali lipat konsumsi, atau surplus hampir 100%!,” ujarnya.

Dradjad menjelaskan, gambaran surplus ini bukan hanya muncul sekarang. Suswono mantan Mentan pada akhir 2011 pernah berkata, data menunjukkan surplus 10 juta ton.

Masalahnya, kata Dradjad, data di atas layak diragukan. Contohnya adalah konsumsi per kapita. Bagaimana mungkin datanya anjlok drastis dari 139, 113 lalu 98 kg/kapita/tahun?

“Selain itu, jika memang surplus, barangnya di mana? Kenapa harga justru melonjak saat musim panen tiba? Ulah spekulan? Kecil peluangnya. Kenapa? Memangnya spekulasi tidak perlu modal, gudang, dan sebagainya? Dengan “surplus” beras minimal 24,5 juta ton setahun, paling tidak perlu uang tidur Rp 16-20 triliun untuk dispekulasikan setiap bulan!,” tegasnya.

Karena itu, dia lebih percaya bahwa pasar memang kekurangan supply beras. Kesalahan berikutnya, menurutnya, Kementan telanjur goang-gaung swasembada. Sementara kata pasar, kita belum swasembada beras. Akibatnya, pemerintah lengah. Harga melonjak terus dan telat direspon. Ketika direspon, timing-nya sangat jelek, menjelang puncak panen.

Catatan kedua, kata dia, harus diakui impor beras memang sumber rejeki yang pulen. Ini karena besarnya selisih harga antara beras lokal dengan beras impor seperti ex-Vietnam.

“Mari kita lihat hitungan kasarnya. Saat ini harga FOB beras ex-Vietnam bervariasi antara US$ 300-400 / metric ton (MT). Ini dengan tingkat pecah 5-25%, kadar air 14%, dan spesifikasi lain yang masuk kualitas beras medium di Indonesia,” tegas dia.

Ada yang harganya US$ 250-260/MT, tapi kualitasnya jauh di bawah. Beras calrose yang cocok untuk sushi tidak saya analisis. Harganya bisa sampai US$ 600/MT atau lebih.

“Kita ambil harga US$ 350/MT, dengan asumsi tanpa diskon. Biaya freight dan asuransi sekitar US$ 31/MT. Ini asumsi tinggi, setelah saya konversi semuanya ke MT. Biar aman, kita mahalkan lagi ke US$ 35/MT. Asumsikan kurs-nya Rp 13500/US$. Kita anggap importir tidak punya stok dolar, sehingga harus beli dolar mahal,” kata dia.

Dradjad menjelaskan, beras tidak kena PPN, tapi per 1 April 2011 impor beras kena bea masuk Rp 450/kg. Dia mengaku belum menemukan apakah bea ini dicabut atau diubah.

Menurut Dradjad, dengan hitungan di atas, harga CIF beras ex-Vietnam sekitar Rp 5197,5/kg. Tambah bea masuk, biaya gudang dan sebagainya, harga pokok beras ex-Vietnam jatuh pada kisaran Rp 6000/kg.

Harga di atas hanya 55% dari harga eceran beras kualitas medium yang sekitar Rp 11000/kg! Selisih harganya sangat fantastis, bisa Rp 5000/kg! Bahkan jika harga beras nanti turun ke Rp 9000, selisihnya masih fantastis, Rp 3000/kg.

Dengan volume impor 500 ribu ton, berarti ada marjin Rp 1,5-2,5 triliun! Jumlah ini bisa disebar untuk keuntungan importir, pedagang eceran hingga komisi dan jual beli kuota impor. Itu juga estimasi rendah, karena semua komponen harga saya buat mahal.

Karena itu, Dradjad yang juga anggota Dewan Kehormatan PAN ini mengusulkan, sebaiknya impor ini diawasi dan diaudit dengan ketat. Jangan dilepas ke PPI dan Kemendag begitu saja. Khawatirnya, mereka nanti antre diproses KPK.

“Lalu apakah ada opsi selain impor? Ada, meski tidak mudah. Itu sebabnya saya sejak dulu konsisten melawan impor beras. Tapi harus saya akui, saat ini posisi pemerintah dilematis. Yang jelas, jangan lagi gampang goang-gaung swasembada,” ujar dia.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs