Fachmi Idris Direktur Utama BPJS Kesehatan mengakui adanya keterlambatan pembayaran tunggakan selama dua bulan terakhir pada 2018 ini. Seperti yang terjadi di sejumlah rumah sakit di Jawa Tengah.
Dia pun mengabarkan sesuatu yang menurutnya akan menjadi kabar baik bagi rumah sakit mitranya. BPJS Kesehatan dia pastikan mendapat suntikan dana APBN untuk membayar utang-utangnya.
Fahmi menjelaskan, Jumat (23/11/2018) lalu Menteri Keuangan telah mengundangnya rapat bersama Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
Rapat itu membahas hasil review Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap defisit cashflow atau kebutuhan BPJS Kesehatan untuk melunasi tunggakannya.
Sri Mulyani Menteri Keuangan, kata Fahmi, dalam rapat itu memutuskan bahwa pemerintah akan menyuntikkan dana sebesar Rp5,6 triliun dari APBN untuk melunasi utang-utang BPJS Kesehatan.
“Dua bulan lalu, kami mendapat suntikan dari pemerintah Rp4,89 triliun hasil review pertama BPK. Nah, Jumat kemarin, Bu Menkeu menggelar rapat hasil review BPK kedua. Kali ini ada suntikan dari APBN Rp5,6 triliun,” ujarnya di Unair, Surabaya, Senin (26/11/2018).
Saat ini, BPJS Kesehatan telah menyelesaikan proses administrasi untuk penggunaan dana APBN dalam jumlah besar itu dan telah berkirim surat ke Kementerian Keuangan. Tinggal menunggu dana itu cair.
“Ini akan kami optimalkan untuk membayar tunggakan rumah sakit beserta denda sesuai ketentuan. Kami mohon RS tetap melayani dengan baik karena ini menjadi komitmen bersama untuk menjaga program ini tetap berkelanjutan,” ujarnya.
Meski demikian, kata Fahmi, Menteri Keuangan menyatakan di rapat itu bahwa hasil review kedua BPK atas defisit BPJS Kesehatan ini bersifat sementara. BPK masih akan melakukan review.
“BPK masih diminta untuk melakukan audit sistem BPJS Kesehatan untuk melihat semuanya. Berapa besar yang seharusnya kami (BPJS Kesehatan) selesaikan. Dalam waktu tidak lebih dari 2 bulan ini hasil review itu sudah ada,” ujarnya.
Karena itulah dia tidak menyebutkan, berapa sebenarnya jumlah tunggakan yang harus dilunasi BPJS Kesehatan untuk semua rumah sakit mitra di seluruh Indonesia berikut pembayaran obat-obatan.
“Uang ini (Rp5,6 triliun) akan segera kami didistribusikan sesuai tagihan yang masuk, yang sudah terverifikasi, dan jatuh tempo. Ya, termasuk untuk RS di Jawa Timur,” katanya.
Fahmi menegaskan, BPJS Kesehatan tetap berkomitmen membayar tunggakan rumah sakit karena menjadi bagian dari kerja sama mutual benefit dengan rumah sakit.
Dia kembali mengingatkan, BPJS Kesehatan bukan seenaknya menunggak pembayaran. Setiap kali terlambat membayar, kata Fahmi, BPJS didenda 1 persen per bulan.
“Kami ini dihukum kalau telat membayar. Didenda 1 persen per bulan. Ini lebih besar dari bunga bank konvensional atau mudarobah yang rata-rata 0,8 persen,” katanya.
Konstruksi Pembiayaan yang Tidak Imbang
Fahmi Idris Direktur Utama BPJS Kesehatan menyebutkan masalah belum cocoknya penghitungan berimbang yang menjadi dasar pembiayaan BPJS Kesehatan.
“Konstruksi pembiayaan kami pembiayaan berimbang. Dasar utamanya iuran (aktuaria) dan pembayaran. Secara aktuaria memang belum cocok, tapi ini masalah berbeda, ya,” katanya.
Ketidakcocokan yang dia maksudkan, yakni antara nominal iuran dari hasil aktuaria atau perhitungan akademis dengan nominal iuran yang diputuskan oleh pemerintah.
“Untuk masyarakat non formal, misalnya, iuran yang ditentukan Rp25.500 per kepala, padahal seharusnya (aktuaria) Rp53 ribu. Artinya, ada minus 27.500 per kepala untuk kelas tiga,” ujarnya.
Demikian halnya untuk kelas dua. Fahmi menjelaskan, dari nilai iuran hasil aktuaria yang seharusnya 63 ribu pemerintah memutuskan iuran untuk peserta BPJS Kesehatan kelas II sebesar Rp51 ribu per kepala.
“Artinya, ada 12 ribu gap antara yang diputuskan dengan seharusnya. Yang sesuai hanya kelas I. Iurannya Rp80 ribu sesuai dengan hitungan aktuaria 80 ribu, tapi ini hitungan bertahun-tahun lalu,” katanya.
Tak mau dianggap mengeluh, Fahmi mengatakan bahwa meskipun ada ketidakcocokan perhitungan yang seharusnya berimbang antara iuran dengan pembayaran itu, Pemerintah komitmen program Jaminan Kesehatan Nasional ini harus jalan.
“Sudah ada solusinya, ya dengan suntikan dana dari APBN itu,” ujarnya.(den/iss/ipg)