Bank Indonesia mengaku akan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan untuk memelototi pembelian valas yang berdasarkan spekulasi dan tidak disertai dokumen jaminan (underlying) karena menjadi salah satu penyebab pelemahan rupiah yang pada Selasa ini mencapai batas psikologis baru di Rp14.900 per dolar AS.
Perry Warjiyo Gubernur BI di Jakarta, Selasa (4/9/2018), mengatakan pembelian valas dalam jumlah besar memang bisa saja karena kebutuhan. Namun Bank Sentral mensyaratkan agar pembeli valas menyertakan dokumen bukti (underlying) kepada bank untuk memenuhi kebutuhan valas itu.
Transaksi valas yang akan dipantau ketat BI dan diduga menjadi penyebab pelemahan rupiah adalah pembelian dalam jumlah besar, namun tanpa dokumen bukti sebagai “underlying”.
“BI punya ketentuan pembelian dollar AS itu harus ada underlying-nya,” ujar Perry, seperti dilansir Antara.
“Kita harus membedakan antara pembelian yang sesuai kebutuhan dan memiliki ‘underlying’ (dokumen bukti) dengan pembelian yang lain,” tambah Perry.
Ketentuan adanya dokumen bukti kebutuhan valas itu tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik.
Perry menyebutkan BI dan OJK sudah mengawasi aksi pembelian valas dalam jumlah besar ke perbankan sebelum timbul sentimen negatif akibat gejolak perekonomian di Turki dan Argentina. Hasil pengawasan saat itu, semua pembelian valas disertakan “underlying”.
Saat ini, pelemahan rupiah, diakui Perry, sudah tidak wajar karena sangat tidak mencerminkan nilai fundamentalnya.
“Waktu itu tidak ada (yang membeli valas tanpa underlying), tetapi sekarang kami lakukan lagi,” ujar Perry.
Perry belum mengungkapkan apakah Bank Sentral akan mengenakan sanksi terhadap pelaku aksi spekulasi tersebut atau terhadap bank yang tidak taat untuk meminta jaminan “underlying”.
“Sekarang kami fokus menstabilkan nilai tukar, itu yang terus kami lakukan,” ujar dia.
Perry menegaskan nilai tukar rupiah yang pada Selasa ini anjlok hingga ke Rp14.900 per dolar tidak wajar dan tidak seharusnya terjadi.
“Kalau hitung-hitungan fundamentalnya seharusnya tidak seperti kurs saat ini. Tidak selemah seperti ini,” ujar Perry.(ant/iss/ipg)