Jatuhnya nilai tukar rupiah ke titik terendah pada akhir pekan lalu, yang hanya berselang kurang dari seminggu sejak APBN 2018 disahkan, menurut Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI merupakan hal yang harus diberi perhatian serius oleh pemerintah dan Bank Indonesia.
“Turunnya nilai tukar rupiah hingga ke level Rp13.609 per dollar Amerika Serikat kemarin merupakan level terendah sejak Juli 2016,” ujar Fadli dalam pesan singkatnya, Rabu (1/11/2017)
Meski dua hari ini kembali naik, namun, kata Fadli, pelemahan tersebut melebihi mata uang regional lainnya. Ini harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Apalagi, penurunan nilai tukar itu terjadi hanya kurang dari seminggu sejak APBN 2018 disahkan.
Kata dia, dalam APBN 2018, meski telah diingatkan, pemerintah terus-menerus menyusun anggaran dalam kaca mata optimistis, yang menurut Fadli, banyak yang kurang realistis. Misalnya soal kurs rupiah. Dalam APBN 2018, nilai tukar rupiah diasumsikan Rp13.400, padahal tahun depan harus membayar utang jatuh tempo hingga Rp390 triliun, yang itu pasti membutuhkan banyak dollar.
“Tak mungkin hal itu tak akan berimbas pada nilai tukar rupiah,” kata Fadli
Belum lagi, jika memperhitungkan faktor eksternal. Bobot faktor eksternal ini menurut Bank Indonesia bahkan lebih dari lima puluh persen pengaruhnya terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Jika Bank Indonesia saja kaget dengan turunnya nilai tukar rupiah akhir pekan lalu, itu menunjukkan jika perhitungan dan antisipasi mereka terhadap fluktuasi nilai tukar dan perkembangan ekonomi dunia masih tidak cermat.
“Tingginya jumlah utang yang akan jatuh tempo dalam dua tahun ke depan, yang angka totalnya mencapai Rp810 triliun, seharusnya mendorong pemerintah untuk menyiapkan sejenis protokol krisis ekonomi. Sebab, untuk membayar utang yang jumlahnya besar tersebut, selain harus membuat utang baru, dalam realisasinya pemerintah biasanya akan memangkas belanja kementerian/lembaga dan memotong subsidi, yang pasti akan mendorong terjadinya kontraksi ekonomi,” jelas dia,
Fadli melihat penyusunan APBN 2018 tidak banyak mengantisipasi risiko buruk yang mungkin terjadi pada 2018. Skenarionya terus saja optimis, padahal proyeksi optimis pemerintah selama ini sebenarnya selalu gagal.
“Besaran defisit pada APBN 2018, misalnya, hanya dipatok 2,19 persen dari PDB, atau hanya sebesar Rp325,9 triliun. Padahal, tahun ini saja dalam APBN 2017 defisit dipatok Rp397,2 triliun, dan dalam APBN-P 2017, persentasenya telah dinaikkan ke level 2,92 persen. Itu baru asumsi untuk tahun berjalan. Dalam realisasinya, tahun ini defisit APBN bahkan bisa mencapai 3,62 persen terhadap PDB. Itupun dengan asumsi jika pos penerimaan pajak bisa terealisasi hingga 85 persen hingga akhir tahun ini. Padahal, hingga September 2017, baru mencapai 60 persen,” jelas dia.
Meski terjadi pelemahan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat, namun , kata Fadli, sejauh ini masyarakat masih relatif tenang, karena saat ini harga minyak dunia masih cukup rendah. Masalahnya, jika tahun depan harga minyak dunia menyentuh taksiran umum US$55-60 per barel, sementara APBN mengasumsikan harga jauh lebih rendah dari itu. Fadli mempertanyakan apakah pemerintah sebenarnya hanya sedang menunda gejolak dengan menurunkan asumsi-asumsi makro ekonomi yang mungkin kita hadapi di tahun depan.
“Jadi, jangankan mengantisipasi krisis yang mungkin terjadi pada 2018, dan menyiapkan pos anggaran untuk itu, jika dalam menyusun anggaran saja asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemerintah tidak realistis. Itulah salah satu alasan kenapa Partai Gerindra menolak pengesahan APBN 2018 dalam Rapat Paripurna tanggal 25 Oktober pekan lalu. Penyusunan anggaran belanja pemerintah tidak kredibel,” ujar Fadli.(faz/iss/ipg)