Ada 84 pedagang di Kampung Ilmu, Jalan Semarang, Surabaya. Mereka telah berjualan di lahan bekas tempat pembuangan sampah sementara (TPS) itu sejak 2008 silam.
Budi Santoso, Ketua Paguyuban Kampung Ilmu mengatakan, cukup lama mereka babat alas membersihkan lokasi itu hingga kini menjadi tempat yang cukup layak bagi para pencari buku di Surabaya.
“Dulu awal-awal itu, hampir setiap minggu kami menguruk bekas sampah supaya enggak bau. Dibangun bareng-bareng, sampai akhirnya sepakat bikin koperasi,” katanya.
Sejak awal tempat itu berdiri, mereka berjuang sendiri tanpa dukungan Pemkot Surabaya. Budi mengatakan, para pedagang saat itu memang tidak menuntut apa-apa.
“Kami sudah cukup puas diberi tempat sama Pemkot Surabaya untuk berjualan. Jadi empat tahun itu kami bangun sendiri tempat ini supaya nyaman,” ujarnya.
Sampai akhirnya, sekitaran 2013 lalu, Pemkot Surabaya membangunkan pendapa dan gedung serbaguna di lantai dua lapak pedagang buku. Tujuannya, agar aktivitas literasi dapat berpusat di sana.
Benar saja, kegiatan bedah buku, diskusi sastra, hingga beberapa kali seminar pernah digelar di lokasi itu. Budi menyebutkan, terakhir kali ada kegiatan serupa pada 2014 lalu.
“Waktu itu ada Teten Masduki (sekarang Kepala Kantor Staf Kepresidenan), juga Dede Utomo (Dosen Unair) menggelar kegiatan bedah buku dan diskusi di Kampung Ilmu. Sekarang sudah jarang,” katanya.
Penjualan buku pun menurun. Ramainya pengunjung hanya pada saat pergantian tahun ajaran baru atau setelah lebaran Idul Fitri sekitar bulan Juni sampai Agustus.
Untung saja, para pedagang buku ini sudah punya Koperasi Adem Ayem. Dengan Koperasi ini, mereka bisa bertahan melakukan kegiatan jual beli buku di Kampung Ilmu.
Sebuah kedai kopi di Kampung Ilmu dikelola Koperasi. Hasil penjualan kopi ini, bisa untuk membayar tagihan listrik dan air setiap bulan, yang jumlahnya memang cukup besar.
Budi menyebutkan, setidaknya setiap bulan, tagihan listrik yang harus dibayar antara Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Belum tagihan air.
Memang, para pedagang tetap membayar iuran mingguan. Tapi jumlahnya tidak seberapa. Hanya Rp10 ribu setiap minggu.
Kadang-kadang, kalau tidak punya cukup uang mereka bisa menunda bayar. “Ya tidak apa-apa, namanya dagang kan ada rame ada sepi. Untung saja sudah ada koperasi,” kata Budi.
Pedagang Kampung Ilmu, kata Budi, sejak awal telah sepakat, tidak hanya menjadikan lokasi itu sebagai tempat berdagang. Tapi menjadikan tempat itu sebagai tempat berbagai kegiatan positif.
Karena itulah, para pedagang berharap, ada kerjasama dari Pemkot Surabaya, tidak hanya berupa uang atau bantuan fisik pembangunan. Menurut Budi, ini akan percuma, kalau tidak dibarengi dengan pembangunan program.
“Karena kami juga ingin, kegiatan bedah buku, diskusi, kembali digelar di sini.
Supaya hidup lagi. Kalau kegiatan literasi hidup, penjualan buku juga akan hidup kembali,” ujarnya.(den)