Dahulu, di awal-awal Monica Harijati Hariboentoro (57 tahun) menggeluti kerajinan tangan berbahan clay, dia harus bereksperimen, trial and error selama hampir dua tahun, sampai menemukan komposisi terbaik bahan tepung yang liat, tahan lama, sekaligus murah.
Proses menimba ilmu pembuatan kerajinan clay ini juga tidak instan. Pada tahun 90-an silam dia harus kursus membuat clay ini sampai ke Singapura. Barulah dia memiliki cukup kepercayaan diri untuk memulai usaha di bidang yang dia sukai itu.
Kerajinan tangan alumnus Arsitektur UK Petra Surabaya itu sudah bermacam bentuknya. Tidak hanya karakter-karakter manusia yang imut dan lucu, tapi juga berbagai suvenir, mulai dari hiasan dinding hingga gantungan kunci, kalung, dan gelang.
Pemesannya datang untuk berbagai keperluan. Dari suvenir perkawinan, khitan, sampai pesanan yang datang dari peminat di luar negeri. Itu adalah hasil jerih payah yang luar biasa, karena saat itu dia harus menitipkan hasil kerajinan clay-nya di toko-toko yang ada di Amerika, Jepang, Australia, dan Singapura.
Saking cintanya dengan kerajinan clay, Monic berupaya menularkan kesukaannya kepada orang lain melalui buku. Sudah tiga buku tentang kerajinan clay dia tuliskan. “Kreasi Cantik dari Clay”, “Clay Panjang Lucu dari Tepung”, dan “Lilitan Kabel dan Kawat.”
Buku menjadi salah satu strategi pemasaran yang efektif bagi penjualan kerajinan clay buatan Monica, kala itu. Tapi effort yang harus dia lakukan sungguh besar, meski sekalipun tak pernah dia menganggapnya berat.
Semua jerih payahnya itu berbuah manis. Pesanan terus berdatangan, dan berbagai prestasi pun berhasil dia raih. Karya kerajinan tangannya menjadi jawara di Program Pahlawan Ekonomi (PE) yang diselenggarakan Pemkot Surabaya 2012 silam.
Sejak itu, dia terus aktif mengikuti program PE yang melahirkan ribuan perempuan para penggerak mesin kedua ekonomi keluarga, di Surabaya. Dalam kegiatannya itu pula dia mendapati, dunia usaha mengalami perkembangan luar biasa seiring berkembangnya teknologi.
Di hadapannya, terbentang pasar yang lebih luas dan tanpa batas yang kerap disebut pasar digital, yang memanfaatkan media internet. Dunia mengenalnya sebagai e-commerce. Pasar e-commerce di Indonesia pun terus berkembang pesat.
Sampai-sampai, dua tahun lalu, Rudiantara Menteri Komunikasi dan Informatika RI mengatakan, bukan tidak mungkin e-commerce akan menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Monica yang kerap dipanggil Bu Monic, baru mengenal media sosial pada sekitaran 2015 silam. Tentu saja, sebagai generasi baby boomers, dia sangat gagap dengan teknologi. Tapi dia mau belajar.
“Saya belajar facebook itu sekitar 2015. Karena sudah tua, ya jelas katrok, ya,” katanya kepada suarasurabaya.net, Jumat (13/10/2017). “Untung saja ada teman-teman di PE yang mau ngajari.”
Keterlibatannya di Pahlawan Ekonomi (PE) membawa berkah baru. Monic menjadi sangat piawai membuat roti. Dia melihat, peluang usaha produk olahan makanan dan minuman di Surabaya, masih sangat menjanjikan.
Tengok saja survei Enciety soal laju pertumbuhan riil produk domestik regional bruto (PDRB), menurut lapangan usaha di Surabaya. Laju pertumbuhan PDRB penyediaan akomodasi, makanan dan minuman di Surabaya stabil di angka 8 persen sejak 2014 hingga 2016.
Angka pertumbuhan usaha akomodasi, makanan, dan minuman itu bahkan lebih tinggi dibandingkan jasa penyediaan informasi dan komunikasi di Surabaya, yang stabil pada angka 6 persen selama tiga tahun yang sama.
Belajar dari salah seorang mentor PE, Monica mampu menghasilkan beberapa produk roti seperti Klappertaart Surabaya dan Surabaya Strudel. Lalu dengan bekal ilmu pemasaran media sosial dari berbagai pelatihan di PE, dia mulai memasarkan produk rotinya itu melalui facebook.
“Dulu saya hanya memasarkan lewat akun facebook biasa. Lalu ada pelatihan dari Facebook di Pahlawan Ekonomi. Ternyata memasarkan produk lebih efektif pakai fanpage Facebook. Belajar lagi, deh,” katanya.
Belajar dan terus belajar membawa Monica pada dirinya yang sekarang. Untuk semua produk rotinya, Monica sampai harus membatasi pesanan yang masuk. Setiap harinya, maksimal 60 pesanan saja.
Pemesanan produk rotinya itu pun tidak bisa dilakukan setiap hari. Pemesanan hanya bisa dilakukan dengan cara pre order (PO) yang selalu dia buka setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu setiap minggunya.
“Bukan kenapa-kenapa, kalau kebanyakan order, kurirnya enggak sanggup ngirim,” ujarnya lalu terkekeh.
Kini, sudah menjadi rutinitas setiap pagi, Monica membuka laman Facebook M-Jo Bakery miliknya melalui smartphone. Sekadar mengecek, sudah berapa banyak pesanan yang masuk? Atau sekadar menjawab semua pertanyaan dan komentar.
“Kalau ada permintaan pengiriman, agak siang saya beresin pengiriman. Kalau ada pesanan, ya garap pesanannya. Malamnya, cek FB lagi, mungkin ada pesan baru. Soalnya kalau tidak dijawab, komentarnya nanti bisa macam-macam.”Enggak niat jualan” lah, atau komentar lainnya yang bikin sedih,” katanya.
Kini dia telah mampu mendatangkan pundi-pundi keuntungan hasil penjualan produk rotinya dengan cara yang benar-benar tidak pernah dia sangka sebelumnya. Media sosial menjadi pasar baru dan ladang kesuksesan bagi bisnisnya.
Tidak seperti dulu, ketika dia harus menitipkan hasil kerajinan tangan clay-nya sampai ke toko-toko di berbagai negara. Dengan media sosial, aktivitas pemasaran produk menjadi semakin mudah.
“Yang penting rajin meng-upload foto baru. Karena konsumen sekarang ini suka bosan dengan varian yang itu-itu melulu. Setiap minggu saya target selalu ada yang baru dan saya tawarkan,” katanya. “Selain itu, yang juga penting, rajin menjawab komentar.”
Dari kerajinan tangan clay, kini Monica Harijati Hariboentoro menjadi pengusaha roti yang sukses menghadapi tantangan ekonomi digital, meski usianya sudah tergolong senja.
Kolaborasi Antargenerasi di Surabaya
Salah satu faktor penentu keberhasilan Monica mengenalkan produk rotinya ke pasaran adalah kemasan. Bu Monic tidak membuatnya sendiri. Sampai sekarang, desain kemasan semua rotinya dibuat oleh para pemuda kreatif yang tergabung di Tata Rupa.
Tata Rupa adalah proyek kerja sama antara Kreavi, platform kreatif digital di bawah naungan PT Kibar Kreasi Indonesia, bersama Pemkot Surabaya, untuk membantu desain kemasan produk UKM anggota Pahlawan Ekonomi (PE) Surabaya.
Sekarang sudah ada enam kelompok (batch) Tata Rupa yang terdiri dari sebanyak 200 orang desainer, yang tidak hanya berasal dari Surabaya. Setiap batch digelar, para desainer dari berbagai daerah lain, bahkan beberapa dari Jakarta, antusias mengikuti program sosial ini.
“Mereka tidak dibayar. Sebagian besar alasannya ikut program ini untuk menambah portofolio, dan rata-rata mereka memang punya jiwa sosial yang besar,” kata Vincent Surya, Project Officer Kreavi ditemui di Koridor, co-Working Space Surabaya, di Gedung Siola lantai 3, Jalan Tunjungan.
Para desainer yang tergabung di dalam Tata Rupa, kata Vincent, sebenarnya hanya dibebani pembuatan desain saat berlangsungnya proyek. Setelah bertatap muka dengan para pelaku UKM PE Surabaya dan menyepakati desain untuk produk masing-masing UKM, tugas mereka sebenarnya telah selesai.
Tapi mereka dibebaskan, bila memang masih berminat, membantu para pelaku UKM dalam mendesain kemasan produknya sampai kapanpun. Para peserta Tata Rupa ini, tidak sedikit yang memilih tetap mendampingi para ibu-ibu PE karena alasan sosial.
Monica adalah salah satu anggota PE yang menikmati desain-desain kemasan dari Tata Rupa secara cuma-cuma sampai sekarang. Monic mengaku, dia sama sekali tidak dipungut biaya atas desain kemasan semua produknya.
“Betul, saya tidak pernah diminta membayar. Kalau pakai kemasan, harga jual produk itu memang menjadi lebih tinggi. Beda banget kalau kemasannya biasa-biasa saja. Jadi kemasan produk ini juga sangat penting untuk penjualan,” kata Monic.
Tidak jarang, para desainer di Tata Rupa, juga para desainer dan fotografer yang tergabung dalam Kreavi, membantu ibu-ibu PE memotret produk-produk mereka, supaya lebih eye catchy saat dipajang di media sosial.
Kini, para pelaku UKM di Pahlawan Ekonomi juga bisa mengunggah foto produk mereka di situs e-commerce mereka sendiri. Situs bertajuk pahlawanekonomi.com sejak beberapa waktu lalu sudah online dan bisa diakses secara umum.
Vincent mengatakan, situs e-commerce PE itu diharapkan bisa memfasilitasi para pelaku UKM untuk memasarkan produknya. Situs itu nantinya juga akan menjadi galeri kegiatan yang dilakukan para Pahlawan Ekonomi Surabaya.
Lantas bagaimana nasib finansial para desainer muda berhati mulia di Tata Rupa? Kreavi bersama Pemkot Surabaya punya proyek lain yang bisa menjadi ladang ekonomi bagi para desainer ini.
Vincent Surya mengatakan, dalam waktu dekat, Kreavi dan Tata Rupa, menggandeng komunitas-komunitas mural di kampus-kampus yang ada di Surabaya, untuk mempercantik Sentra UKM yang ada di Surabaya.
Data Dinas Koperasi dan UKM Surabaya, ada 40 Sentra UKM dan Kuliner di Surabaya hingga awal 2017 lalu yang bisa dikatakan belum begitu ramai karena berbagai faktor.
Mendesain ulang dan mempercantik tampilan menjadi salah satu upaya untuk menarik minat warga Surabaya agar tertarik untuk datang ke Sentra UKM dan Kuliner yang ada di Surabaya.
“Kami sedang memfinalisasi desainnya. Desain ini terutama dari Kreavi. Tata Rupa akan kami mintai saran dan pendapat,” ujar dia. “Karena nanti ada proyek baru untuk Tata Rupa.”
Pemkot Surabaya dan Kreavi sedang menyiapkan proyek komersial bertajuk Tata Rupa Prime. Anggotanya tentu saja para desainer yang telah terlibat dalam proyek sosial Tata Rupa.
Tata Rupa Prime terutama ditujukan untuk memunculkan ikon baru cinderamata Surabaya yang bisa menjadi pelengkap Pariwisata di Surabaya.
Para peserta Tata Rupa Prime akan berlomba-lomba membuat desain cinderamata terbaik untuk dijual ke masyarakat, di Sentra UKM dan Kuliner di Surabaya.
Keuntungan hasil penjualan cinderamata ini akan dinikmati oleh masing-masing desainer. Mereka pun menjadi bagian dari pelaku UKM di Surabaya.
Kolaborasi antargenerasi inilah yang menjadikan UKM di Surabaya tumbuh pesat dan tahan goncangan inflasi. Ketahanan UKM ini yang hendak dipertahankan oleh Pemerintah Surabaya.
Soal jumlah UKM di Surabaya, Kresnayana Yahya Bisnis Analis dan Pakar Statistik dari Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, punya datanya. Hingga 2016 lalu, ada sebanyak 365.071 UKM yang tersebar di 31 Kecamatan yang ada di Surabaya.
Setidaknya, dari seluruh UKM yang ada, sebanyak 974.031 orang pekerja dapat diserap di Surabaya. Karena itulah kesuksesan UKM di Surabaya akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Surabaya.
Pemkot Surabaya terus mendorong agar UKM di Pahlawan Ekonomi dan Pejuang Muda Surabaya semakin familiar dan piawai dengan ekonomi digital. Setidaknya, sudah ada 7.000 UKM dari total UKM yang ada di Surabaya, tergabung dalam dua program pemberdayaan masyarakat oleh Pemkot Surabaya itu.
Berbagai pelatihan, melibatkan mentor-mentor dari Facebook dan Instagram, sampai saat ini, masih tetap digelar setiap Sabtu dan Minggu, baik di Kapas Krampung Plaza dan sebagian kecil di Koridor co-Working Space Surabaya.
Ekosistem Ekonomi Kreatif di Surabaya
Koridor, co-Working Space di Gedung Siola, Surabaya, dibangun dengan tujuan mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif di Surabaya. Setidaknya, sudah 10 startup digital kini bermarkas dan berinkubasi untuk menghasilkan karya inovasi di Koridor.
Sebut saja, para kreator Reblood, aplikasi donor darah; Reliev, aplikasi konsultasi psikologi; All Red, aplikasi yang memungkinkan pengguna mengetahui antrean di bengkel di seluruh Surabaya; juga Jahitin, aplikasi yang mempertemukan penjahit Surabaya dengan pelanggannya.
Keberadaan Koridor diharapkan menjadi solusi bagi para peserta Start Surabaya juga para peserta program 1.000 Startup Digital, yang pernah kebingungan harus berkumpul di mana di Kota Pahlawan.
Desain Koridor dibuat sedemikian rupa, kental nuansa industrial tapi tidak meninggalkan kearifan lokal. Di bagian paling muka, ada beberapa batik buatan UKM Dolly yang di-display secara menarik. Ada kursi-kursi rotan dengan desain unik, yang menambah kesan kreativitas tanpa batas.
Di bagian lebih dalam, meja-meja panjang dan sejumlah kursi yang mengelilingi ditata rapi sebagai tempat berkumpul bagi para kreator untuk saling sharing pengetahuan dan ide, sehingga muncul karya-karya kolaboratif.
Ada pula ruangan lain yang terpisah dengan partisi yang penuh gambar hasil karya desainer yang bergiat di sana. Ruangan berkapasitas 50-100 orang itu juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan workshop dan pelatihan.
“Pelatihan dari Facebook dan Google biasanya digelar di sana. Kadang juga di tengah sini,” ujar Vincent Surya, Project Officer Kreavi ketika ditemui di ruang tengah Koridor.
Totalnya, ada tujuh seksi ruangan yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh anak muda kreatif di Koridor. Hanya saja, empat ruangan lainnya, sengaja ditata dengan akses terbatas bagi para kreator yang telah memiliki karya.
Alasannya, supaya orisinalitas karya kreatif para kreator itu terjaga keamanannya. Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya menyebutkan, hal ini berkaitan dengan hak paten yang akan dimiliki oleh para kreator atas karya yang telah dihasilkan.
Selain Startup hasil Inkubasi Start Surabaya dan 1.000 Startup Digital, para desainer yang seringkali berkumpul di platform kreatif digital kreavi.com memang berkumpul di lokasi itu.
Sebelum Koridor secara resmi diluncurkan (kabarnya pada 10 November mendatang) para anggota Kreavi membantu Humas Pemkot Surabaya dalam mengelola front office di co-Working Space Siola.
Merekalah yang menyambut para tamu di meja depan dan melakukan pendataan. Memang belum terlalu banyak para pemuda Surabaya selain para kreator yang ada di sana, yang sudah mulai memanfaatkan semua fasilitas di Koridor.
“Tapi yang jelas kami sangat terbuka kepada siapa saja. Kami juga berharap komunitas pelaku ekonomi kreatif lain di Surabaya ikut bergabung di sini, sehingga suasana co-Working Space Surabaya semakin seru,” ujar Vincent.
Memang, selain komunitas kreator yang beraktivitas di Koridor, ada komunitas lain yang belum bergabung untuk memanfaatkan co-Working Space pertama di Surabaya itu.
Sebut saja komunitas-komunitas yang tergabung dalam Surabaya Creative Network (SCN) yang beberapa kali juga turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang digelar oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Hafshoh Mubarak Ketua SCN mengatakan, komunitasnya juga membuka peluang kolaborasi yang sangat lebar bagi kelompok kreatif lain di Surabaya.
“Kami juga sebenarnya ingin, yang ada di Surabaya ini melebur. Supaya gap-gap yang memang terasa sekali di Surabaya ini, bisa hilang. Tapi apakah teman-teman itu bisa kami ajak “lari?” Karena kami tidak bisa memaksakan diri ke orang lain, kan,” kata Hafshoh ditemui di acara Suroboyo Creative Week (SCW) 2017.
Tahun ini SCN akan melakukan perancangan untuk menjadikan Surabaya sebagai kota kreatif. Mereka memproyeksikan, Surabaya akan menjadi Kreatif Metropolitan.
“Surabaya ini cukup unik. Kami sudah meriset dan menentukan tema. Tema untuk Surabaya adalah Kota Kreatif Gastronomi,” ujarnya.
SCN yang terdiri dari berbagai praktisi industri kreatif seperti Hompimpa Animation, DusDukDuk, dan lain sebagainya, akan fokus menggarap tema gastronomi di Surabaya.
Gastronomi adalah cabang ilmu yang mempelajari transformasi fisiokimiawi dari bahan pangan selama proses memasak dan fenomena sensori saat makanan itu dikonsumsi.
“Jadi semua tentang kuliner. Karena Surabaya ini, salah satu yang paling dikenal adalah kulinernya yang khas. Selera kuliner orang Surabaya kan tinggi banget,” ujar Hafshoh.
November mendatang, SCN akan bekerja sama dengan Bandung Creative City Forum (BCCF) melakukan sebuah riset berkaitan dengan ruang publik di Surabaya.
“Kami akan melibatkan anak-anak SMA, nanti mereka deh yang akan melakukan riset. Bagaimana menurut mereka tentang Sentra Kuliner yang ada di Surabaya, yang cenderung sepi. Kenapa bisa sepi? Kami akan mencoba mencarikan solusinya,” ujarnya.
Hasil dari kegiatan itu, kata Hafshoh, akan ditawarkan kepada para stakeholder, pemerintah Kota Surabaya, agar bisa menjadi solusi yang bisa diterapkan di Kota Pahlawan.(den)