Mohamad Hekal Wakil Ketua Komisi VI DPR RI menegaskan jika Komisi VI DPR RI dalam pembahasan superholding BUMN saat ini agar dikawal dengan UU, karena ada saham negara. Apalagi yang akan menjadi anak perusahaannya nanti holdingnya saja dan BUMN-nya tetap satu, yaitu superholding itu sendiri. Dalam RUU BUMN ini nantinya BUMN cukup satu sampai enam dari 118 BUMN yang ada sekarang ini, agar mampu mewujudkan kebutuhan hajat hidup orang banyak.
“Pemerintah ingin BUMN ini menjadi besar dan mampu bersaing dengan dunia global. Karena itu, pemerintah menghormati DPR RI dengan melakukan sosialiasi superholding tersebut melalui Focus Group Disscussion (FGD). Yang penting harus mempertegas kembali Pasal 33 UU NRI 1945 tentang definisi kebutuhan hajat hidup orang banyak, agar tidak melanggar UUD 1945,” tegas politisi Gerindra itu dalam forum legislasi “RUU BUMN dan PMN” bersama Ichsanuddin Noorsy pakar ekonomi politik di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Menurut Hekal, sejak Indonesia merdeka sudah ada 800-an BUMN, dan sekarang tinggal 119 BUMN. Nantinya cukup satu hingga enam BUMN, dan semuanya harus fokus untuk kebutuhan rakyat dan kekuatan ekonomi nasional. Tapi, apakah akan dinasionalisasi atau tidak, itu tergantung pemerintah. Untuk itu dalam rapat-rapat di DPR seharusnya dihadiri oleh Rini Soemarno Menteri BUMN. Tidak cukup diwakili oleh Menteri Keuangan RI. Namun, antar fraksi masih terjadi tarik-menarik.
“Kalau tidak ada menteri, maka DPR RI lemah dalam pengawasan BUMN itu,” ujar dia.
Menyinggung soal TPP (Trans Pasific Patnership), DPR kata Hekal, sudah lama mengingatkan agar dikaji lebih cermat dan hati-hati. Sebab, ketika masuk MEA (masyarakat ekonomi Asean) saja, sampai hari ini belum ada laporannya tentang sejauh mana manfaatnya MEA bagi Indonesia.
“Kalau masuk TPP akan merugikan Indonesia, sebaiknya dipelajari dulu sampai kita siap,” kata dia.
Yang pasti kata Ichsanuddin, kalau masuk TPP peran BUMN akan makin terpinggirkan dalam persaingan global. Soal batubara misalnya di Kalimantan Timur, dan emas di Banyuawangi, yang digugat bukan bupatinya melainkan negara.
“Itu sudah tercermin dalam perdebatan Hilarry Clinton dan Donald Trump, yang makin mempertegas menghadapi kekuatan ekonomi China dalam pertarungan ekonomi global,” kata dia.
Sedangkan Indonesia tidak disadari sedang diperebutkan sebagai target pasar global. Salah satu contohnya adalah perebutan transportasi massal (MRT), Kereta Api Cepat (KAC) dan lain-lain.
“Yang bukan saja teknologinya dari luar, tapi karyawannya juga dibawa ke sini. Lalu, rakyat kita hanya menjadi penonton? Karena itu, penawaran Jokowi masuk TPP ditolak Amerika Serikat karena sudah utang 3 miliar dollar AS ke China melalui Bank Mandiri, dan ini bertentangan dengan TPP,” kata Noorsy.
Dengan demikian, sebelum membahas superholding BUMN kata Noorsy, DPR RI harus mendefinisikan kembali pasal 33 UUD 1945 terkait kebutuhan hajat hidup orang banyak itu. Juga agar dalam pelaksanaannya tidak menabrak UU No.25 tahun 2007 tentang BUMN.
Malaysia, Singapura, Thailand, China, dan Rusia mampu menghadapi krisis karena peran BUMN yang efektif. Bahwa BUMN yang mampu stabilkan harga-harga. Karena itu FGD Superholding ini mau kemana?
“Kalau untuk penetrasi pasar untuk hajat hidup orang banyak tidak masalah. Silakan. Tapi, kalau tidak, berarti negara ini benar-benar menjalankan politik kekuasaan, bukan konstitusi,” ujar Noorsy.
Selain itu pada 30 tahun ke depan (2045) tidak ada dunia yang tidak butuh energi. Kebutuhan kita 1,5 hingga 1,6 juta barel/hari. Sementara produksi hanya 800 ribu barel, sehinga terus impor yang mahalanya dua kali lipat lebih mahal.
“Panas bumi? Ya Indoensia ada. Lalu, akan impor teknologi? Ya, utang lagi. Jadi, kita tetap terjajah. Maka BUMN tetap menjadi sektror strategis untuk hajat hidup orang banyak. Apalagi dengan 10 paket kebijakan ekonomi Jokowi, justru ekonomi kita lebih terbuka dibanding SBY. Maka, revisi UU BUMN ini tergantung pemerintah, apakah masih konsisten untuk hajat hidup orang banyak? Kalau tidak, maka membiarkan proses pemiksinan struktural,” kata dia.(faz/ipg)