Eka Sastra anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Golkar mendorong diperkuatnya kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui RUU Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang sedang dibahas oleh DPR RI. Diperkuat itu baik secara kelembagaan, kewenangan, maupun anggaaran, agar terjadi harmoni harga-harga barang kebutuhan pokok dan tidak membebani masyarakat.
“Ketidakseimbangan harga selama ini karena ada kartel, mafia, sehingga terjadi monopoli, dan mereka ini yang menentukan harga, yang jauh lebih mahal dari harga seharusnya. Misalnya daging sapi yang seharusnya Rp70 ribu dijual sampai Rp 120 ribu/Kg, minyak goreng Rp6.000 dijual Rp9.000, juga gula Rp6.000 dijual Rp14.000,” ujar Eka Sastra dalam forum legislasi “RUU Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” bersama Saidah Sakwan komisioner KPPU, dan Sugiono pengamat ekonomi INDEF di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (30/8/2016).
Untuk itu kata Eka, KPPU harus diperkuat. Sebab, kalau untungnya @Rp4.000 untuk kebutuhan 5 juta Kg gula/tahun, maka akan beruntung sampai Rp20 triliun. KPPU Amerika Serikat posisinya terhormat karena memiliki kewenangan untuk melakukan harmonisasi harga.
Selain itu kalau terjadi praktik tidak sehat menurut Eka, dalam UU juga denda harus diperberat bukan saja Rp25 miliar, melainkan harus lebih berat lagi. Saat ini justru ada upaya untuk memperlemah KPPU, karena KPPU sudah bisa masuk komoditi nasional. Seperti gula, terigu, beras, daging, dan lain-lain.
“Kalau KPPU kuat, maka akan menjadi inovatif, kreatif, dan masyarakat akan menikmati harga murah. Terlebih pendapatan masyarakat sebanyak 80 % adalah untuk kebutuhan pangan,” kata dia.
Menurut Saidah Sakwan, UU ini lahir pasca reformasi 1998, yang mandatnya hanya dua, yaitu terwujudnya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
“Demokrasi politik sudah kita nikmati dengan adanya Pemilu secara langsung, tapi untuk menciptakan ekonomi masih angan-angan atau mimpi,” ujar dia.
Karena itu kata mantan politisi PKB ini, UU ini harus mereformasi dan konsentrasi pada semua basis industry, yang terstruktur, oligopoly, dan terintegrasi. Mengingat untung dari ayam potong saja bisa mencapai Rp450 triliun/tahun. Padahal, kartel besarnya hanya dua, yaitu Thailand, dan Singapura.
Di Indonesia ada 20 market, dan direbut oleh 60 pengusaha local. Hanya saja sementara ini dari hulu ke hilir masih dikuasai kartel tersebut.
“Celakanya di akhir tahun 2009, ada amandemen UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, justru memperbolehkan kartel bermain di hilir. Akibatnya sebanyak 20 % competitor local habis, gulung tikar, dan 80 % intiplasma terintegrasi dengan integrator, yang menentukan harga di pasar,”kata Saidah.
Artinya kata dia, struktur pasar yang ingin kita rubah karena hal ini sudah termasuk extra ordinarycrime. Sama halnya dengan pasar sepeda motor matic. Honda menguasai 70 %, dan Yamaha 20 %, dan sisanya yang lain.
“Jadi, Honda dan Yamaha lah yang menentukan sepeda motor di Indonesia ini,” ujar dia.
Harga kartel selalu mahal. Honda yang seharusnya Rp9,5 juta dijual Rp14 juta. Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur dan strategi pasar kita belum selesai.
“Bahkan banyak kebijakan kita justru memfasilitasi suburnya kartel. Untuk itu, KPPU dan DPR terkait masalah daging ini sepakat tidak menggunakan istilah kuota, tapi tariff, karena kartel ini medistorsi pasar rakyat,” tegas Saidah.
Apalagi kini sudah terjadi jaringan kartel lintas negara (cross order cartel). Seperti di Batam dengan Singapura dalam hal angkutan peti kemas, yang harganya sangat mahal dan implikasinya rakyat akan membeli dengan harga yang juga mahal.
“Jadi, jangan sampai kita gagap regulasi, dan UU Nomor 55 Tahun 1999 itu sudah tidak relevan lagi karena hanya berlaku untuk NKRI. Sedangkan pasar kita sudah masuk MEA dan pasar bebas,” kata Saidah.
Hal itu bisa dibayangkan di dunia elektronik. SMS saja kata Saidah, yang harganya Rp78 plus biaya operator dan lain-lain hanya menghabiskan Rp 120 tapi dijual per sms ke konsumen Rp350. Hasilnya, selama dua tahun itu 8 jaringan telekominikasi itu mengantongi Rp2,9 triliun.
“Itu hanya dari sms. Belum lagi bandwidth soal Mukidi,” kata dia.
Karena itu, pemerintah sesungguhnya tidak perlu dengan UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), karena dari efisiensi APBN Rp 2000 triliun dan Rp800 triliun untuk belanja barang, ternyata bocornya 30% atau setara Rp250 triliun.
“Sebaiknya pemerintah tak usah repot-repot dengan TA, tapi mengefisienkan APBN sudah cukup,” kata Saidah.
Sugiono meminta DPR hati-hati dalam membahas RUU ini dengan langkah-langkah cerdas, karena sering kalah di pengadilan.
“Basisnya harus kuat mengingat banyak perusahaan besar tidak menginginkan KPPU kuat. Sebab, kalau KPPU kuat, maka untung mereka akan kecil,” ujar dia singkat.(faz/iss/ipg)