Daya beli masyarakat Surabaya terhadap properti di triwulan I 2016 diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh naiknya Upah Minimum Kabupaten/Kota dan turunnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Bank Indonesia (BI) melansir, rasio harga rumah (primer) terhadap UMK di triwulan I 2016 turun menjadi level 29,09 kali UMK. Dari rasio sebelumnya di awal tahun yakni level 32,53 kali UMK dan rasio tahun lalu secara keseluruhan yaitu 36 kali UMK.
“Daya beli juga didukung dengan turunnya rata-rata suku bunga KPR dari 11,4 persen menjadi 11,2 persen,” kata Syarifuddin Bassara Deputi Kepala Perwakilan BI Jawa Timur, Selasa (16/2/2016).
Berdasarkan pembagian wilayah, kata Syarifuddin, wilayah Surabaya Selatan dan Timur mengalami kenaikan harga properti yang dominan.
Hal ini disebabkan berkembangnya wilayah Surabaya Timur dengan munculnya berbagai aktivitas komersil seperti pusat bisnis kuliner dan tempat makan di sepanjang Jalan Kertajaya yang mengarah ke pusat pendidikan di Surabaya Timur.
“Selain itu juga kemunculan pusat retail serta dibukanya ring road (jalan lingkar) turut memicu kenaikan harga,” ujar dia.
Kenaikan harga properti primer utamanya didorong oleh kenaikan pada rumah tipe menengah. Rumah tipe menengah (lebih dari 36m2 sampai dengan 70m2) menyumbang kenaikan sebesar 1,08 persen (qtq).
Sedangkan rumah tipe kecil (70m2) masing-masing menyumbang kenaikan 0,91 persen (qtq) dan 0,61persen (qtq).
“Pada triwulan I 2016, harga rumah diprediksi mengalami kenaikan sebesar 0,6 persen (qtq) dipengaruhi oleh perubahan harga rumah tipe kecil (1,53 persen), tipe menengah (0,30 persen) dan besar (-0,15 persen),” katanya.
Untuk harga properti sekunder, rumah tipe menengah dan menengah atas memiliki kontribusi yang hampir sama. Rumah tipe menengah mengalami peningkatan 0,69 persen (qtq) lebih tinggi dibandingkan tipe menengah atas, yaitu 0,65 persen (qtq) yang mengindikasikan tipe menengah lebih diminati.
Kondisi ini terkonfirmasi dimana rumah dengan harga jual di bawah Rp1,5 miliar memilik waktu penjualan 3-6 bulan. Sedangkan rumah dengan harga jual di atas Rp2 miliar mengalami banyak koreksi harga karena waktu penjualannya yang relatif lama.
“Secara keseluruhan, kecepatan penjualan properti sekunder di Surabaya mengalami perlambatan dari sebelumnya 1-3 bulan menjadi 3-6 bulan yang mendorong penjual dan agen properti mengkoreksi harga,” ujarnya.
Sementara itu, wilayah Surabaya Utara terpantau stagnan dan cenderung menurun. Hal ini disebabkan persepsi masyarakat terhadap wilayah utara dengan citra lokasi pesisir sebagai pusat niaga, pergudangan, dan bongkar muat yang berujung menurunkan keinginan masyarakat untuk bermukim di sana.(dop/ipg)