Pemberlakukan Peraturan BI terkait penggunaan rupiah di wilayah NKRI memicu kekhawatiran para eksportir di Jawa Timur. Ini karena usaha mereka justru akan merugi akibat Peraturan BI No.17 Tahun 2015 tersebut.
Isdarmawan Asrikan Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur mengatakan, para pengusaha khawatir peraturan tersebut akan membuat ongkos terminal atau terminal handling charges (THC) membengkak.
“Apalagi antara nilai tukar rupiah dan dolar Amerika terpaut perbedaan yang cukup jauh. Jadi kewajiban penggunaan rupiah ini cukup memberatkan eksportir dan importir baik untuk membeli kebutuhanbahan baku atau keperluan lainnya,” kata dia.
Isdarmawan menjelaskan, dalam biaya THC ocean freight bongkar muat terdapat selisih nilai jual dan beli untuk kurs dolar AS yang cukup lebar. Misalnya dalam situasi normal selisih hanya mencapai Rp25-Rp100/dolar AS.
Namun, saat ini selisih ongkos pelabuhan jika menggunakan rupiah dapat mencapai Rp100-Rp250/dolar AS. Sehingga para eksportir dan importir harus membayar dengan kurs Rp14.000-Rp15.000/dolar AS ke pihak pelayaran.
“Beda kursnya bisa sampai Rp600-Rp1.600. Menurut acuan BI, saat ini nilai jual dolar Rp13.271 dan beli Rp13.405, selisih Rp134. Sementara itu, biaya kargo untuk ekspor dan impor di Tanjung Perak adalah Rp1,2 juta/kontainer,” ungkap dia.
Prediksi kenaikan ongkos pelabuhan tersebut, lanjut dia, dikhawatirkan berbanding lurus dengan makin lemahnya kinerja ekspor. Atas pertimbangan tersebut, bank sentral didesak membuat kebijakan khusus agar mereka tetap dapat menigkatkan volume ekspor.
“Industri saat ini sedang mengalami penurunan omzet antara 15-30%. Maka BI wajib menetapkan kurs tetap, serta harus ada insentif dan stimulus bagi pelaku usaha ekspor impor,” tegasnya. (dwi/wak)